Jumat 21 Feb 2020 05:17 WIB

Fraksi Rakyat Indonesia: Lawan Omnibus Law!

Serikat buruh menyebut nasib buruh hancur jika Omnibus Law RUU Cipta Kerja disahkan.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Andri Saubani
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) menyerahkan surat presiden (surpres) tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja kepada pimpinan DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) menyerahkan surat presiden (surpres) tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja kepada pimpinan DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah gerakan masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menyuarakan penolakan terhadap draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Koordinator Hubungan Antarlembaga Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN) Akbar Rewako mengatakan RUU Cipta Kerja hanya membuat kehidupan buruh semakin sulit.

"Bagi kami serikat buruh ini hancur banget, karena akan semakin melemahkan posisi buruh, kehidupan dan kesejahteraannya," kata Akbar dalam diskusi di kantor Walhi, Jakarta, Kamis (20/2).

Baca Juga

Akbar menilai ada dua hal yang mempengaruhi kehidupan buruh, pertama soal upah, kedua terkait fleksibilitas hubungan kerja. Dua hal tersebut menurutnya akan berpengaruh terhadap pesangon, cuti, dan jaminan sosial yang didapat kaum buruh.

"Kita sih dari FRI bikin fatwa saja kali ya, fatwa lawan Omnibus Law, karena hanya itu yang bisa kita lakukan. Karena kalau ini goal selesai kehidupan kita," ungkapnya.

Hal senada juga disampaikan koordinator Perempuan Mahardika, Mutiara Ika Pratiwi. Menurutnya, adanya Omnibus Law berpotensi merugikan kaum buruh khususnya kaum perempuan.

"RUU Cilaka ini dia menghancurkan tubuh perempuan, memiskinkan dan menjauhkannya dari akses pemberdayaan," ucapnya.

Ia menilai, ruu tersebut tidak hanya mengatur soal upah, tapi bagaimana perlunya pemberdayaan perempuan dalam dunia kerja. Ia juga menilai, Omnibus Law Cipta Kerja sangat bertentangan dengan pemenuhan hak perempuan.

"Hak perempuan menuntut agar tetap diupah dengan layak ketika hamil, melahirkan, dan menyusui dalam situasi yang tidak bekerja secara produktif," ujarnya.

Adapun, Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ellena Ekarahendy juga menyoroti terkait adanya kemungkinan pemberian upah murah kepada buruh apabila Omnibus Law RUU Cipta Kerja berhasil disahkan. Hal tersebut menurutnya diatur dalam pasal 88 b dan 88 c, dan 90 b.

"Disebutkan bahwa untuk UMKM, tidak harus mengikuti upah minimum, selama di atas garis kemiskinan. Ini problematik, karena indikator garis kemiskinan ini tidak konsisten di beberapa institusi, dan garis kemiskinan itu rendah sekali, hanya beda satu rupiah dari garis kemiskinan akan dianggap upah layak untuk UMKM," ucapnya.

Selain itu, ia menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja tidak hanya berdampak pada buruh, melainkan juga berdampak kepada tenaga kerja di semua bidang. Salah satu dampak yang dikhawatirkan muncul yaitu terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

"Di pasal 154 a akan dibilang PHK bisa terjadi kalau ada peleburan atau penggabungan, dan efisiensi. Dua alasan ini alasan utama sering dijadikan dalih pengusaha melakukan PHK sepihak, yang sudah banyak terjadi sekarang dengan respons pengawas tenaga kerja yang sangat buruk, tapi malah dilegitimasi dalam omnibus cilaka, yang berarti PHK akan sangat besar," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement