Kamis 20 Feb 2020 22:27 WIB

KPPOD Sangsi Pemda Laksanakan Omnibus Law Ciptaker

KPOOD menilai pemda tidak dilibatkan dalam proses penyusunan draf RUU Ciptaker.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ratna Puspita
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng
Foto: Republika/Mimi Kartika
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng meragukan pemerintah daerah (pemda) akan mengimplementasikan draf Rancangan Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) jika disahkan menjadi UU. Ia berkaca pada pengaturan turunan, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Sistem Submission (OSS).

Ia mengatakan aturan itu tak dilaksanakan keseluruhan pemda. "Jangan pernah menganggap remeh pemda, ya, ini para politikus juga pemda isinya," ujar Robert kepada wartawan di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (20/2).

Baca Juga

Ia menilai, hal itu karena ketika proses penyusunan PP OSS, pemerintah tak melibatkan pemda. Berdasarkan penelitian KPPOD, sejumlah pemda tetap menggunakan sistem pelayanan perizinan berusaha miliknya sendiri seperti DKI Jakarta dengan JakEvo-nya. 

Robert menganggap tidak terlibatnya pemda juga terjadi dalam proses penyusunan draf RUU Ciptaker. Dalam rancangan beleid itu, urusan pemerintahan daerah beralih menjadi kewenangan presiden.

Artinya, urusan pemerintahan daerah menjadi urusan pemerintahan pusat. Namun, pemerintah pusat mendelegasi kewenangan pembentukan peraturan pelaksanaan UU ke pemda. 

Padahal, kata dia, tak bisa kalau urusan pemerintahan pusat, tetapi pelaksanaannya dilakukan pemda. Sebab, pemda hanya melakukan kegiatan atau program yang menjadi urusan pemerintahan daerah.

Program itu harus tercantum dalam undang-undang dan bukan pengaturan turunan seperti PP atau peraturan presiden. Menurut Robert, otonomi daerah tak bisa dilakukan melalui PP pelaksanaan RUU Ciptaker dalam PP yang berisi Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK).

Hal ini juga berimbas pada anggaran yang digunakan. Seperti diketahui dana yang dipakai pemda dalam menjalankan urusan pemerintahan daerah berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). 

Ketika pemda menggunakan APBD untuk melaksanakan program atau kegiatan yang bukan urusannya itu akan menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Enggak bisa jauh untuk mengerjakan karena kan dia harus ambil anggaran," kata dia.

"Kalau ambil anggaran jadi temuan sama BPK. Anda kok membiayai suatu kegiatan yang bukan urusan Anda. Jadi ini bukan soal bahwa kepala daerah itu enggak punya komitmen, enggak punya kepedulian terhadap masyarakat," kata Robert.

Seperti diketahui Pasal 162 ayat (2) RUU Ciptaker berbunyi, "Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang berdasarkan Undang-Undang dilaksanakan oleh menteri atau kepala lembaga dan Pemerintah Daerah."

Urusan pemerintahan itu bertujuan untuk percepatan pelayanan, percepatan perizinan, serta pelaksanaan program strategis nasional dan kebijakan pemerintah pusat. Kemudian pada Pasal 166 RUU Omnibuslaw Cipta Kerja mengatur tentang pemerintahan daerah yang berisi ketentuan Pasal 16 UU Pemerintahan Daerah yang diubah.

Pasal 16 ayat (4) dalam Pasal 166 RUU Omnibuslaw Cipta Kerja itu berbunyi, "Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan peraturan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Kepala Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement