Kamis 20 Feb 2020 19:42 WIB

Menaker Sebut Pesangon di Indonesia Terlalu Tinggi

Menaker menyebut investor kurang tertarik berinvestasi karena pesangon besar.

Rep: Ali Mansur/ Red: Nur Aini
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah
Foto: Republika/Ali Mansur
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah menyebut Undang-Undang Ketenagakerjaan yang saat ini berlaku terlalu kaku dan pesangonnya terlalu tinggi. Ida mengatakan, peraturan tenaga kerja di Indonesia yang masih terlalu rigid membuat para investor kurang tertarik untuk menanamkan modal pada industri padat karya.

"Salah satu poin yang mendapat evaluasi adalah tingginya pesangon di Indonesia yang mencapai 24 bulan atau jauh lebih lama dibandingkan Vietnam yang hanya 7 bulan," ujar Ida di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (20/2).

Baca Juga

Sementara itu, kata Ida, tantangan ketidakpastian global saat ini tidak sedikit membuat perusahaan merugi. Ketika perusahaan ingin melakukan PHK karena perusahaan merugi, perusahaan dituntut membayar pesangon yang besar. Dia menyebut kondisi itu yang membuat para investor kurang tertarik berinvestasi ke Indonesia. 

"Pada akhirnya, para investor justru kerap “mengakali” mempekerjakan pekerjanya dengan sistem kontrak dan outsourcing yang justru berpotensi rentan tidak terpenuhinya hak dan pelindungan kerja," kata Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut.

Di sisi lain, kata Ida, dalam praktiknya tingkat kepatuhan perusahaan untuk memenuhi pembayaran kompensasi PHK sesuai peraturan sangat rendah. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan pada tahun 2019, dari sekitar 536 persetujuan bersama (PB) pemutusan hubungan kerja, yang memenuhi pembayaran kompensasi sesuai dengan UU hanya sekitar 147 persetujuan bersama atau sekitar 27 persen. 

"Sedangkan sisanya sebanyak 384 persetujuan bersama atau sekitar 73 persen tidak melakukan pembayaran kompensasi PHK sesuai dengan Undang-undang 13/2003," kata Ida.

Ida mengklaim, data tersebut sejalan dengan Bank Dunia yang mengutip data Sakernas BPS 2018. Berdasarkan laporan pekerja sebanyak 66 persen pekerja sama sekali tidak mendapat pesangon, dan 27 persen pekerja menerima pesangon dari yang seharusnya diterima sesuai UU 13/2003, serta hanya 7 persen pekerja yang menerima pesangon sesuai dengan ketentuan.

"Maka diperlukan penataan ulang ketentuan ketenagakerjaan melalui Omnibus Law Cipta Kerja yang berfokus pada upaya penciptaaan lapangan kerja yang seluas-luasnya dengan tetap menjaga perlindungan bagi pekerja atau buruh," kata Ida Fauziah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement