REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja tidak boleh mengekang kebebasan pers. Mahfud mengatakan, ia telah berbicara dengan Dewan Pers terkait kritik terkait aturan yang mengatur soal pers pada UU tersebut.
"Tidak boleh pengekangan terhadap kebebasan pers. Ini kan UU ini untuk mempermudah, kok malah mau mengekang kebebasan pers itu tidak boleh," kata Mahfud di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).
Ia menyebutkan, pemerintah memberikan masyarakat kesempatan untuk membahas draf RUU Cipta Kerja lebih lanjut selama proses di DPR berlangsung. Mahfud juga mengaku telah berbicara dengan Dewan Pers untuk menyampaikan masukannya ke DPR untuk dibahas lebih lanjut ke depannya.
"Saya sudah bicara dengan Dewan Pers, silakan sampaikan ke DPR mana-mana yang isinya tidak disetujui. Kalau itu soal setuju tidak setuju dibahas ke DPR," katanya.
Sebelumnya, sejumlah organisasi pers mempertanyakan urgensi diseretnya pasal dalam Undang Undang 40/1999 tentang Pers ke dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Setidaknya ada dua pasal yang akan diubah, yaitu soal modal asing dan ketentuan pidana, serta sanksi yang diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Agung Dharmajaya mengaku terkejut dan tidak percaya. Bahkan hingga saat ini, Dewan Pers tidak dilibatkan sama sekali dalam menyusun draf Omnibus Law.
"Kalau sampai tidak melibatkan komunitas pers saya rasa ini aneh. Karena Undang-undang Pers disusun bukan oleh pemerintah," ujar Agung di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).
Menurut Agung, salah satu subtansi dari kebebasan pers adalah self regulation. Artinya, pers diberi kewenangan merumuskan aturan dan mengatur dirinya sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah.
"Sehingga ketentuan-ketentuan dalam UU 40/1999 tidak diturunkan dalam bentuk PP. Karena PP itu produk dari pemerintah bukan Dewan Pers," kata Agung.
Lebih lanjut, Agung menjelaskan, peraturan Dewan Pers dibuat oleh organisasi-organisasi pers dan masyarakat, termasuk tokoh-tokoh pers yang diinisiasi Dewan Pers. Adapun pembuatan aturan tersebut dilakukan melalui serangkaian FGD dan diskusi. Setelah mengkristal baru dibawa ke Rapat Pleno Dewan Pers untuk disahkan menjadi peraturan Dewan Pers.
Sementara itu, Agung diseretnya peraturan tentang pers ke Omnibus Law membuka pintu pada pemerintah untuk mengatur melalui PP maka ini bermakna bahwa pemerintah berusaha mencabut rezim self regulation. Maka jika itu terjadi kebebasan pers akan terancam.
"Artinya ketika pemerintah bisa mengatur pers melalui PP maka selesai sudah kemerdekaan pers," keluhnya.
Selain itu, Agung juga mempertanyakan adanya revisi yang menaikkan sanksi atau denda terhadap insan pers dan media yang melanggar ketentuan pers. Padahal dalam aturan pers sebelumnya, denda yang dikenakan maksimal Rp 500 juta. Namun dalam draft Omnibus Law diubah menjadi menjadi Rp 2 milyar.