Selasa 18 Feb 2020 19:42 WIB

Protes DPR Atas Kenaikan Iuran dan Eror Data BPJS Kesehatan

Eror data merupakan persoalan fundamental BPJS Kesehatan sejak 2014.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) bersama Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris (kiri) mengikuti Rapat Kerja Gabungan (Rakergab) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) bersama Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris (kiri) mengikuti Rapat Kerja Gabungan (Rakergab) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Rr Laeny Sulistyawati

Anggota dan pimpinan DPR dari lintas komisi memberikan pandangan mengenai kebijakan pemerintah menaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan dalam rapat gabungan dengan pemerintah di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/2). Khususnya peserta yang termasuk dalam kategori Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas tiga atau kerap disebut sebagai peserta mandiri kelas tiga.

Baca Juga

Kenaikan iuran ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang sudah berlaku per 1 Januari 2020. Iuran peserta mandiri kelas tiga naik dari Rp 25.500 per orang per bulan menjadi Rp 42 ribu per orang per bulan.

Dalam rapat berdurasi dua jam tersebut, pendapat DPR didominasi oleh ketidaksetujuan atas keputusan pemerintah menaikkan iuran peserta kelas tiga. Anggota dan pimpinan DPR menilai, kebijakan itu melanggar keputusan rapat bersama DPR dengan pemerintah sebelumnya yang dilaksanakan pada 2 September 2019.

Wakil Ketua Komisi IX Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Nihayatul Wafiroh salah satunya yang meminta pemerintah menunda kenaikan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta mandiri kelas tiga.

"Melalui rapat internal kamu putuskan hasil rapat 2 September 2019, yakni meminta untuk menunda atau membatalkan kenaikan iuran BPJS PBPU Peserta Bukan Pemerima Upah dan PBI dengan persyaratan jelas hasil rapat," ujarnya.

Menurut Nihayatul, kenaikan iuran perlu ditunda sebelum ada hasil akhir cleansing data atau penyisiran data kepesertaan BPJS Kesehatan dari pemerintah. Ia menilai, data yang dipegang pemerintah, tepatnya di Kementerian Sosial (Kemensos) perlu diperbaiki karena masih belum rampung.

Suara serupa disampaikan Ketua Komisi VIII Yandri Susanto dari Partai Amanat Nasional. Menurutnya, apabila pemerintah tetap melanjutkan kenaikan iuran tanpa menyelesaikan cleansing data, banyak uang negara yang akan dihamburkan. Sebab, banyak masyarakat yang sebenarnya mampu, namun iurannya justru ditanggung pemerintah.

"Kalau tidak maka akan banyak uang negara yang dihamburkan. Kalau pemerintah tidak mau ikut keputusan DPR, maka mereka (pemerintah) tidak usah ikut rapat lagi," ucap Yandri.

Yandri menegaskan, pemerintah harus merapikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial terlebih dahulu. Data ini berisikan detail jumlah dan nama masyarakat miskin yang memang layak dibantu oleh pemerintah untuk membayar iuran BPJS Kesehatan. 

Yandri menambahkan, pihaknya berkomitmen membantu pemerintah apabila memang dibutuhkan untuk menyelesaikan cleansing data.

[video] Alasan Kemenkeu Menyetujui Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Inclusion dan exclusion error

Berdasarkan data yang disampaikan Menteri Sosial Juliari Batubara dalam rapat tersebut, sebanyak 30 juta orang seharusnya bisa mendapat fasilitas BPJS Kesehatan gratis, namun belum terdaftar sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI). Artinya, selama ini mereka masih memaksa diri untuk membayar mandiri atau sama sekali tidak membayar iuran.

Kondisi tersebut dikarenakan ada inclusion dan exclusion error. Merujuk pada situs Kementerian Sosial, inclusion error adalah kesalahan yang terjadi karena orang yang tidak berhak menerima manfaat tapi masuk database sebagai penerima manfaat. Sedangkan, exclusion error adalah eror yang terjadi karena orang yang berhak menerima manfaat tidak masuk di database sebagai penerima manfaat.

Anggota Komisi XI dari PAN Saleh Daulay menilai, data merupakan persoalan fundamental BPJS Kesehatan sejak 2014. Data yang digunakan kerap salah dan tidak memiliki basis perhitungan yang jelas sampai saat ini.

Saleh mengingatkan, dampak dari kesalahan tersebut bisa fatal. "Bayangkan ada 30 juta data yang masih error. Dana kapitasi berapa yang dikeluarkan pemerintah yang ternyata ujungnya tidak jelas," katanya.

Saleh meminta kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan penyisiran data dalam waktu cepat. Kondisi ini akan memperparah isu ketidakmerataan ekonomi di Indonesia.

Sementara itu, Anggota Komisi XI dari Partai Golkar Misbakhun menyebutkan, permasalahan BPJS Kesehatan harus dipandang sebagai sebuah isu makro dan komprehensif. Permasalahan ini sebaiknya dijadikan momentum bagi pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara, terutama dari pajak.

Apabila penerimaan negara optimal, kenaikan iuran peserta mandiri tidak harus dilakukan. Sebab, penerimaan tersebut dapat digunakan untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan yang sebelumnya diprediksi mencapai Rp 32 triliun hingga akhir 2019.

"Angka Rp 32 triliun adalah angka yang dapat diatasi apabila penerimaan pajak optimal," ujar Misbakhun.

Rapat Gabungan tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar. Sementara itu, pihak pemerintah diwakili Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Kesehatan Terawan Agus dan Menteri Sosial Juliari Batubara.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengaku akan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menyelesaikan persoalan pembersihan data (cleansing data) peserta program JKN-KIS. Selain itu, Kemenko PMK akan memenuhi permintaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) supaya memasukkan peserta JKN-KIS kelas III yang tidak mampu bayar iuran jika hal itu telah disepakati.

Muhadjir mengaku, persoalan cleansing data akan diselesaikan secepatnya. "Besok saya segera berkoordinasi dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mempercepat cleansing data," ujarnya saat ditemui usai rapat gabungan DPR dan pemerintah membahas iuran JKN-KIS, di kompleks parlemen, di Jakarta, Selasa (18/2).

Kemudian, dia melanjutkan, peserta kelas III yang dimasukkan ke dalam PBI menjadi solusi dan keputusan bersama maka pihaknya mengaku siap akan melakukannya. Kendati demikian, pihaknya menyadari ada potensi berkurangnya pendapatan iuran yang diperoleh BPJS Kesehatan kalau peserta kelas III pekerja bukan penerima upah (PBPU) dimasukkan menjadi penerima bantuan iuran (PBI).

"Karena itu kami akan menaikkan target kolektibilitas PBPU dari yang semula hanya 66 persen, maka BPJS Kesehatan harus mendapatkan kolektibilitas peserta 70 persen. Hal itu sudah menjadi komitmen BPJS Kesehatan," katanya.

Terkait exclusion error hingga inclusion error PBI, pihaknya mengakui hal itu masih terjadi. Pihaknya mengaku tidak bisa menghindari kesalahan peserta yang seharusnya masuk mendapatkan bantuan iuran tetapi ternyata tidak masuk dan peserta yang seharusnya tidak berhak menerima PBI justru mendapatkan bantuan pembayaran premi dari pemerintah.

"Karena itu program kita setelah ini adslah memperkecil inclusion error dan exclusion error (PBI)," ujarnya.

Di satu sisi, pihaknya mengapresiasi pertemuan kali ini representatif karena dihadiri oleh Ketua DPR dan melibatkan kementerian/lembaga terkait. Sebab, ia menyebutkan selama ini pernyataan yang dikeluarkan masih parsial masing-masing pihak.

"Jadi suara pemerintah dan DPR melibatkan kementerian/lembaga sudah utuh sehingga diharapkan menjadi keputusan bersama," katanya.

Pihak BPJS Kesehatan enggan berkomentar banyak mengenai permintaan DPR untuk menunda kenaikan iuran JKN-KIS atau ancaman Menteri Keuangan Sri Mulyani menarik lagi suntikan dana jika kenaikan iuran dibatalkan. BPJS Kesehatan memilih menunggu keputusan hasil akhir.

Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma'ruf mengungkap hasil rapat membahas masalah ini belum selesai. "Masih ada rapat lanjutan, jadi kami belum bisa berkomentar banyak. Tentu kami harus menunggu keputusan finalnya," ujarnya saat dihubungi Republika, Selasa (18/2).

photo
Penyesuaian Iuran BPJS Kesehatan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement