Selasa 18 Feb 2020 12:43 WIB

Omnibus Law Prioritas Pemerintah, Kok Bisa Salah Tik?

DPR mempertanyakan dalih pemerintah salah tik Pasal 170 Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) menyerahkan surat presiden (surpres) tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja kepada pimpinan DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) menyerahkan surat presiden (surpres) tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja kepada pimpinan DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Febrianto Adi Saputro, Sapto Andika Candra, Antara

Draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja diketahui mengandung pasal yang salah tik. Pasal salah tik itu terdapat pada Pasal 170 yang belakangan menjadi kontroversi lantaran membuat pemerintah berwenang mengubah suatu undang-undang cukup dengan peraturan pemerintah.

Baca Juga

Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan menyindir klarifikasi pemerintah yang menyebut muatan Pasal 170 draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja salah tik. Menurut Syarief, terlalu konyol bila pemerintah salah tik dalam menulis pasal tersebut.

Wakil Ketua Umum Demokrat itu mengaku telah mengingatkan, bagaimanapun secara perundang-undangan, peraturan pemerintah (PP) tak dapat membatalkan undang-undang (UU). Presiden pun tak bisa mengubah UU yang seharusnya menjadi wewenang DPR RI.

"Saya kan mengatakan kemarin, mengingatkan jangan sampai (Omnibus Law) mengeliminasi tugas dan tanggung jawab daripada DPR dan ternyata ada bantahan Menko Polhukam dan Menkumham bahwa itu salah tik katanya, ya masa sih? Lucu, kok yang prioritas kok salah tik?" ujar Syarief di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2).

RUU Cipta Kerja diketahui masuk dalam salah satu RUU Prioritas pada 2020. RUU Cipta Kerja juga masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI.

Kendati demikian, Syarief tak mau menduga-duga apakah dalih salah tik tersebut sekadar alasan pemerintah semata. Ia memilih berpikir positif bahwa kemungkinan salah tik itu tetap ada, meskipun harusnya tak boleh terjadi.

"Kita sih positif thinking lah ini unsur manusiawi juga mungkin, unsur check and recheck juga tidak dilakukan mungkin sehingga salah tik kok lolos," kata Syarief.

Syarief mengaku telah berkomunikasi dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto terkait temuan pasal yang menubruk hierarki undang-undang itu. Namun, menurut Syarief, Airlangga mengaku bahwa seharusnya pasal tersebut tidak ada.

"Setelah saya mengatakan saya mengingatkan, ternyata dia meluruskan bahwa itu tidak ada. Karena memang yangg bisa menggugurkan UU itu adalah Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang, bukan PP," ujar dia.

Masih menjadi misteri bagaimana pasal itu muncul dengan struktur bahasa yang rapi dan jelas di draf RUU Cipta Kerja BAB XIII Tentang Ketentuan Lain-lain Pasal 170. Draf RUU Cipta Kerja BAB XIII tentang Ketentuan Lain - lain, Pasal 170 ayat 1 berbunyi, "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini."

Ayat 2 kemudian menjelaskan, "perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat satu diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)." Selanjutnya, pada ayat 3, "dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia."

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad ikut menanggapi pengakuan pemerintah terkait adanya kesalahan tik di dalam 170 ayat (1) draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Dasco menuturkan, DPR memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk memperbaiki draft tersebut.

"Nanti kan ada rapat antara pemerintah dengan DPR, pada saat itu kita kasih kesempatan pemerintah untuk me-review draf tersebut," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2).

Dasco menjelaskan, rencananya DPR dan pemerintah baru akan membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja setelah pimpinan DPR menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk menentukan alat kelengkapan mana yang akan ditunjuk untuk membahas Omnibus Law tersebut. Namun belum sampai pada tahap tersebut, kemudian ditemui ada kesalahan tik.

"Mari kita sama-sama nanti mengamati dalam proses-proses pembahasan supaya kemudian hal-hal yang sekiranya menimbulkan kontrovesial yang sangat subtansif itu nanti ada pelanggaran supaya tidak terjadi demikan," kata politikus Gerindra itu.

Ia menilai kesalahan tik tersebut wajar terjadi mengingat draf tersebut cukup tebal dan dikerjakan oleh manusia. Sehingga, menurutnya human error sangat mungkin terjadi.

Rencananya DPR akan menggelar rapat pimpinan (rapim) pekan ini. Setelah di bamus, baru menjadwalkan pertemuan dengan pemerintah.

[video] Apa Itu Omnibus Law?

Penjelasan pemerintah

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menepis tudingan bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang sedang digodok memberi celah otoriter bagi pemerintah pusat. Ia menegaskan bahwa secara hierarki perundang-undangan, Peraturan Pemerintah (PP) tak bisa menggantikan atau mengubah Undang-Undang (UU).

"Memang itu ada salah pengertian di sana, bahwa PP itu tidak bisa menggantikan UU," ujar Airlangga di kompleks Istana Kepresidenan, Senin (17/2) sore.

Airlangga pun menolak menjelaskan lebih rinci mengenai poin Bab XIII pasal 170 yang menyinggung 'kewenangan' pemerintah pusat mengubah UU. Menurutnya, ada salah tafsir di pasal tersebut.

"Tidak ada (kesalahan kalimat). Bacanya saja yang belum pas," ujar Airlangga.

Sebelumnya pada Senin (17/2), Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly mengakui ada kesalahan tik dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Kesalahan tik itu terdapat pada Pasal 170.

"Ya, tidak bisa dong PP melawan UU, peraturan perundang-undangan itu, saya akan cek, nanti di DPR akan diperbaiki mereka bawa DIM (daftar isian masalah) untuk itu, gampang itu, teknis," kata Yasonna di lingkungan Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Senin.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU 15/2019, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sesuai dengan urutan dari yang tertinggi adalah UUD. Selanjutnya, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR), undang-undang (UU) atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), peraturan daerah (perda) provinsi, dan perda kabupaten atau kota.

"Artinya, tidak mungkin PP mengubah UU, seperti dalam Bab XIII Pasal 170 RUU Cipta Kerja," kata Yasonna.

photo
Kontroversi Omnibus Law Cipta Kerja

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement