BOYOLALI, JOGLOSEMARNEWS.COM -- Tingginya angka perkawinan anak di Indonesia mendapat atensi tersendiri dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Guna menekan angka perkawinan usia dini dan mencegah dampak luasnya, termasuk stunting, Kemenkominfo mulai terjun ke daerah untuk menggencarkan sosialisasi. Salah satunya di Kabupaten Boyolali.
Kabupaten berjuluk Kota Susu ini selama ini juga identik dengan tingginya kasus perkawinan anak usia dini atau di bawah 18 tahun. Terkait fenomena itu, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) RI menggelar sosialisasi melalui media tradisional wayang kulit, Jumat (14/2/2020) malam. Sosialisasi digelar dengan tema Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak dalam Rangka Percepatan Penurunan Stunting.
Sosialisasi dengan wayang kulit menghadirkan Dalang Ki Warseno Slenk itu digelar di halaman Pedepokan Aji Tirto Wening Pengging, Dukuh Karangkulon, Desa Cangkringan, Kecamatan Banyudono, Boyolali. Dalam sambutannya, Direktur Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kemenkominfo,
Wiryanta mengatakan sosialisasi pencegahan perkawinan anak sangat penting. Sebab saat ini angka perkawinan anak terbilang cukup tinggi.
"Sebanyak 30,5 persen atau 79,6 juta jiwa penduduk Indonesia pada tahun 2017 berusia 0 – 17 tahun. Sedangkan angka perkawinan sebelum usia 18 tahun di Indonesia pada tahun 2018 diperkirakan berjumlah 1.220.900 atau 1,2 juta alias 11,2 persen. Dan angka itu menempatkan Indonesia peringkat ke 8 dunia untuk perkawinan anak," papar Wiryanta membacakan sambutan dari Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Prof. Dr. Widodo Muktiyo.
Wiryanta menguraikan perkawinan anak usia dini harus dicegah. Sebab berdampak buruk terhadap segala lini. Selain itu, perkawinan anak juga melanggar hak-hak anak dan pelanggaran HAM.
"Setiap anak wajib mendapatkan perlindungan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002. Lalu perkawinan anak merupakan pelanggaran hak anak, yang berarti juga pelanggaran HAM. Perkawinan anak juga menghambat IPM dan SDGs," terang Wiryanta.
Ia menguraikan ada banyak faktor penyebab Perkawinan Anak mulai dari Norma dan Budaya, Akses terhadap pendidikan, Status Sosial Ekonomi, Faktor Geografis, Intepretasi Agama, Persepsi Perkawinan hingga Isu Gender. Sementara, dampak negatif dari perkawinan anak juga sangat buruk. Di antaranya, dapat menimbulkan depresi berat, neoritis depresi, timbul konflik berujung perceraian sehingga banyak anak terlantar.
Lantas, anak memicu munculnya pekerja anak, dampak psikologi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, meningkatkan angka kematian anak, pendidikan menjadi terhambat. "Lalu bisa memicu perilaku seksual menyimpang, dapat menyebabkan penyakit HIV, kanker leher rahim dan bisa memicu peningkatan angka stunting," terangnya.
Lebih lanjut, Wiryanta menyampaikan untuk menekan angka perkawinan anak, ada beberapa langkah yang dilakukan. Di antaranya mendorong Penerapan UU RI No 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan untuk diterapkan dari hulu hingga hilir, mengembangkan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), dan upaya terintegrasi pencegahan perkawinan anak dari lembaga non-pemerintah dan pemerintah daerah perlu dikembangkan.
"Perlu juga penguatan program belajar 12 tahun untuk anak perempuan, layanan kesehatan pendidikan inklusif, penyediaan pendidikan dan layanan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) sejak Dini dan sosialisasi untuk mengubah pola pikir mengenai HKSR," ucap dia.
Pihaknya berharap, fenomena perkawinan dini itu bisa dicegah dengan sinergitas pemerintah pusat, pemerintah daerah dan semua pihak. Termasuk dukungan orangtua, tokoh masyarakat juga diperlukan untuk mencegah kasus perkawinanan anak.
Terkait stunting, Wiryanta kemudian menyampaikan bahwa tahun 2030 ada bonus demografi di Indonesia dan salah satu persoalan yang harus ditekan adalah kasus stunting atau kekurangan gizi pada anak. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, saat ini 30,8 persen atau sekitar 3 dari 10 anak Indonesia mengalami stunting.
"Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, sehingga tinggi anak terlalu pendek untuk usianya. Kondisi kekurangan gizi ini terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah lahir. Namun stunting baru terlihat setelah anak berusia 2 tahun," paparnya.
Wiryanta menjelaskan penanganan stunting tidak hanya dari sisi kecukupan gizi. Namun juga perlu dibudayakan hidup sehat dengan melakukan langkah kecil. Misalnya melalui perubahan pola hidup dan pola makan ke arah yang lebih sehat, sehingga kekurangan gizi kronis dapat diatasi.
"Untuk mengatasi permasalah kurang gizi kronis tersebut tidak bisa hanya mengandalkan peran sektor kesehatan saja," terangnya. Wardoyo