Senin 17 Feb 2020 14:13 WIB

Moeldoko Bantah Peristiwa Paniai Masuk Pelanggaran HAM Berat

Komnas HAM memasukkan peristiwa Paniai sebagai pelanggaran HAM berat.

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Nur Aini
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko tidak sepakat dengan keputusan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang memasukkan peristiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014 silam sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Menurut dia, peristiwa Paniai tersebut tidak dilakukan secara struktur dan sistematis. Peristiwa itu, kata dia, terjadi secara tiba-tiba. 

"Perlu dilihat lah yang bener. Paniai itu sebuah kejadian yang tiba-tiba. Harus dilihat dengan baik itu karena tidak ada kejadian terstruktur, sistematis. Nggak ada. Tidak ada perintah dari atas. Tidak ada. Tidak ada kebijakan yang melakukan hal seperti itu. tidak ada," kata Moeldoko di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (17/2).

Baca Juga

Karena itu, ia meminta agar Komnas HAM melihat secara cermat terkait peristiwa itu sehingga kesimpulan yang dihasilkan pun juga tepat. 

"Kalau menurut saya apa yang dilakukan oleh satuan pengamanan saat itu adalah sebuah tindakan yang kaget tiba-tiba karena dia diserang masyarakat yang kaget begitu. Sehingga tidak ada upaya sistematis," ungkapnya.

Sebelumnya, dalam Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM, Komnas HAM memutuskan peristiwa Paniai 7-8 Desember 2014 sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat.

"Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna peristiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelangaran HAM berat," ujar Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, melalui keterangan pers, Ahad (16/2).

Ia menjelaskan, pada tanggal tersebut terjadi peristiwa kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk. Pada kejadian yang sama terdapat 21 orang yang mengalami luka penganiayaan.

"Peristiwa ini tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut," kata dia.

Keputusan paripurna khusus itu berdasarkan hasil penyelidikan oleh tim ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai. Tim tersebut bekerja selama lima thaun dari 2015 hingga 2020. Tim tersebut diketuai komisioner Komnas HAM, Choirul Anam.

Choirul menjelaskan, peristiwa tersebut memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan dengan adanya tindakan pembunuhan dan tindakan penganiayaan. Selain itu, dalam kerangka kejahatan kemanusiaan, hal tersebut dilakukan secara sistematis atau meluas dan ditujukan pada penduduk sipil.

Tim telah melakukan kerja penyelidikan dengan melakukan pemeriksaan terhadap 26 saksi, meninjau dan memeriksa tempat kejadian perkara di Enarotali Kabupaten Paniai, dan pemeriksaan berbagai dokumen. Selain itu, tim juga melakukan diskusi dengan ahli dan memeriksa berbagai informasi yang menunjang pengungkapan peristiwa tersebut.

"Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut disimpulkan, anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai, diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement