REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan merugikan para kelas pekerja. Maka dari itu, mereka meminta DPR untuk mengkritisi bahkan membatalkan RUU tersebut.
"Khususnya klaster ketenagakerjaan dan semua yang berhubungan dengan ketenagakerjaan," ujar Presiden KSPI Said Iqbal saat dikonfirmasi, Senin (17/2).
Sebelumnya, Said menjelaskan, draf salinan resmi RUU Cipta Kerja menghapus upah minimum kabupaten dan kota serta menggunakan upah minimun provinsi. Padahal, seluruh daerah, kecuali DKI Jakarta dan Yogyakarta, mengacu kepada upah minimum kabupaten kabupaten kota. Upah minimun provinsi tidak dipakai dan angka acuannya juga jauh lebih kecil.
Sebagai contoh di wilayah Jawa Barat, upah minimum di Kabupaten Bekasi sebesar Rp 4,4 juta per bulan dan di Karawang Rp 4,5 juta per bulan. Namun, upah provinsi Jawa Barat hanya Rp 1,8 juta per bulan.
"Apakah ini mau diturunkan dari Rp 4,5 juta jadi Rp 1,8 juta. Saya katakan pemerintah tidak ada otak. Tidak ada otaknya," kata Said di Jakarta, Ahad (16/2).
Lebih lanjut, RUU Cipta Kerja juga mengenal istilah upah per satuan waktu atau upah per jam. Dibayarnya pekerja berdasarkan jam kerja maka secara nyata menghilangkan upah minimum per bulan yang selama ini digunakan.
KSPI kemudian menyoroti hilangnya pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU itu diatur tentang sanksi bagi pengusaha yang tidak membayar upah sesuai upah minimum.
"Kami sudah teliti, antar pasal-pasal tentang upah kalau disinkronkan sama saja dengan menghapus upah minimum. Kalau tidak jeli, akan menganggap masih ada. Padahal tidak. Konseptornya sangat pandai memecah-mecah pasal upah minimum," ujar dia.
Said menambahkan, kenaikan upah juga hanya akan diatur berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Berbeda dengan saat ini yang memformulasikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Pertumbuhan ekonomi, kata Said, dihitung tanpa melihat inflasi sehingga akan kurang mencerminkan kebutuhan hidup pekerja.
Belum lagi, soal nasib pekerja outsorcing dan karyawan kontrak yang bisa dikontrak seumur hidup. Perusahaan, lanjut Said, tentu akan lebih memilih outsorcing atau kontrak ketimbang mengangkat karyawan tetap demi mengurangi biaya pekerja.
Selain soal upah minimum yang disebut hilang, KSPI juga menggarisbawahi delapan persoalan lain dalam RUU Cipta Kerja. Di antaranya potensi hilangnya pesangon, penggunaan outsorcing yang bebas untuk semua jenis pekerjaan dan waktu yang tak terbatas, dan penggunaan karyawan kontrak yang tak terbatas.
Selanjutnya, KSPI menilai RUU Cipta Kerja memuat jam kerja menjadi eksploitatif, potensi penggunaan buruh kasar asing yang bebas, PHK yang dipermudah, hilangnya jaminan sosial bagi buruh, serta sanksi-sanksi pidana bagi perusahaan yang dihilangkan.
Ia menambahkan, KSPI juga menyangkan pernyataan pemerintah yang menyebut bahwa penyusunan RUU Cipta Kerja telah melibatkan serikat pekerja sejak awal. Ia menegaskan, KSPI tidak pernah diundang dan diminta Kementerian Koordinator Perekonomian untuk ikut membahas RUU Cipta Kerja.
"Semua draf RUU Cipta Kerja yang telah disampaikan ke DPR, KSPI tidak bertanggung jawab. Kami tidak pernah diundang dan dimintai pandangan. Kami tidak terlibat," ujarnya.
KSPI mengaku masih percaya bahwa anggota DPR merupakan wakil rakyat yang akan menyampaikan aspirasinya. Meskipun saat ini mayoritas partai berada di koalisi pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
"Pendekatan-pendekatan kami kepada anggota DPR mereka masih punya hati nurani dan pikiran yang jernih," ujar Said.
Sejumlah serikat pekerja di Indonesia juga sudah menyiapkan daftar permasalahan yang disebabkan oleh RUU Cipta Kerja. Khususnya yang berhubungan langsung dengan kelas pekerja.
"Draf sandingan KSPI lebih sebagai sebuah argumentasi yang dipersiapkan mengapa KSPI dan buruh Indonesia menolak draf RUU Cipta Kerja tersebut," ujar Said.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan langsung draf RUU Cipta Kerja ke Ketua DPR RI Puan Maharani pada Rabu (12/2). Draf itu berbeda dari yang disampaikan Presiden Joko Widodo sebelumnya yakni Cipta Lapangan Kerja.
DPR resmi menerima naskah omnibus law cipta kerja dari pemerintah di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2).
Airlangga menegaskan, bahwa pemerintah bakal menyosialisasikan Omnibus Law ke publik. "Jadi sesudah surpres ini dberikan baik dari pemerintah ataupun DPR akan melakukan sosialiasi ke masyarakat," kata Airlangga di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
Airlangga mengaku tidak bisa memastikan kapan draf Omnibus Law mulai dibagikan ke publik. Ia menyerahkan sepenuhnya mekanisme tersebut ke DPR. Ia menambahkan, nantinya bentuk sosialisasi ke masyarakat juga bisa melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU) dalam setiap pembahasan Omnibus Law Ciptaker.
"Public hearing kan dilakukan mekanisme saat pembahasan di
DPR, namanya RDPU," ucap Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Airlangga juga memastikan bahwa pemerintah bakal melibatkan buruh dalam pembahasan Omnibus Law. Dirinya mengatakan pemerintah melalui menteri tenaga kerja (menaker) sudah mengajak sepuluh konfederasi untuk diajak berdiskusi.
"Jadi sepuluh konfederasi sudah diajak dialog dengan menaker dan tentunya ada di bentuk tim dan demikian seluruhnya sudah diajak dalam sosialisasi," ungkapnya.
Pada hari yang sama Airlangga menyerahkan draf Omnibus Law Cipta Kerja ke DPR, sejumlah Pimpinan Komisi IX (Ketenagakerjaan) DPR menemui ribuan buruh yang menggelar demo di Depan Kompleks DPR/MPR RI. Mereka berjanji akan mengajak buruh dalam pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, khususnya terkait pasal bagian ketenagakerjaan.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning Proletariyati yang turut menemui buruh naik ke mobil komando dan turut berorasi di hadapan buruh. Ribka menjanjikan, Komisi IX akan mengajak buruh dalam pembahasan di DPR terkait RUU Cipta Kerja.
"Kita semua telah bersepakat berada di pihak buruh," kata politikus PDI Perjuangan itu melalui pengeras suara di mobil komando.
Ketua Komisi IX DPR RI Felly Estelita Runtuwene juga turut menyampaikan orasi pada para buruh yang menggelar aksi. Ia mengatakan, Komisi IX DPR RI akan membedah secara rinci poin-poin, pasal demi pasal yang termuat dalam draf RUU Cipta Kerja.
"Kami sudah mendengarkan apa yang disampaikan. Semuanya kami menginginkan adanya investasi tapi bukan semuanya urusan ketenagakerjaan lalu diambil," kata politikus Nasdem itu.
[video] Apa Itu Omnibus Law?