REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya menanggapi hasil survei Indo Barometer yang menyebut bahwa sekitar 62 persen responden menilai belum perlu amandemen. Ia mengungkapkan kekhawatiran bahwa amandemen akan membawa Indonesia mundur.
Bima Arya mencurigai ada hal lain yang diubah di dalam amandemen tersebut, tidak hanya GBHN. Namun, ia tidak menyebut lebih rinci perubahan apa yang dimaksud.
"Kita akan sideback, kita akan mundur kembali ke masa dimana sesungguhnya rezim otoriter yang berperan disana," kata Bima Arya dalam diskusi hasil survei nasional Indo Barometer di Senayan, Jakarta, Ahad (16/2).
Ia pun mempertanyakan ruang dan visi misi kepala daerah jika nantinya ada GBHN. Sebab, menurutnya, dalam GBHN arah pembangunan ditentukan dari atas ke bawah.
"Orang bilang China ada GBHN-nya, ya beda, lebih sentralistik di sana. Kita multipartai, menurut saya ini berbahaya, jangan sampai pikiran output oriented mengorbankan nilai-nilai demokrasi kita," ujarnya.
Karena itu, wali kota Bogor ini mengaku sepakat dan menilai amandemen UUD 1945 perlu dicurigai. "Soal GBHN (Garis Besar Haluan Negara), saya termasuk sepakat dengan orang yang curiga GBHN bisa memiliki modus tertentu, menurut saya memang bisa ke sana," kata dia.
Sebelumnya Survei Indo Barometer merilis hasil survei nasional 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Hasilnya sebanyak 27,3 persen publik berpendapat bahwa UUD 1945 perlu diamandemen. Sedangkan publik yang berpendapat UUD 1945 belum perlu diamandemen sebanyak 62 persen.
Lima alasan utama publik menyatakan bahwa UUD 1945 perlu diamandemen (diubah) adalah karena menyesuaikan tuntutan zaman (38,9 persen), perkembangan dinamika perilaku masyarakat (23,6 persen), pemilu tidak sesuai dengan UUD 1945 (12,2 persen), pasal undang-undang terlalu banyak dan membebani masyarakat (7,6 persen), dan kesenjangan ekonomi di masyarakat masih terasa (5,3 persen).
Sementara itu lima alasan utama publik menyatakan bahwa UUD 1945 belum perlu diamandemen karena UUD 1945 sudah ketetapan sejak zaman dulu (47,5 persen), berisiko terhadap kestabilan politik Negara (23,2 persen), lebih tepat diperbaiki bukan diubah (12,8 persen), berbahaya bagi keutuhan Negara (5,1 persen), dan hanya untuk kepentingan politik tertentu (3,4 persen).