REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum DPP Perkumpulan Gerakan Kebangsan (PGK) Bursah Zarnubi mengatakan keberhasilan suatu negara dalam mengelola kelompok usia produktif bergantung pada kemampuannya mempersiapkan generasinya agar dapat memanfaatkan celah kesempatan dari bonus demografi.
Namun tak semua negara berhasil memanfaatkan Bonus Demografi. Jepang adalah salat satu yang sukses karena mampu mengelola bonus demografi sehingga bisa menghasilkan mobilitas penduduk dengan tingkat produksi yang tinggi.
"Yang menarik di Jepang, di tengah penurunan angkatan kerja tapi ekonominya tumbuh mengagumkan mengalahkan Amerika dan Eropa," kata Bursah dalam diskusi publik yang digelar DPP PGK di Jakarta melalui keterangan tertulis Ahad (16/2).
Menurut Bursah, angkatan kerja di Jepang saat ini satu orang menanggung dua orang, sedangkan di Indonesia dua orang angkatan kerja menanggung satu orang usia non-produktif. Itu artinya Jepang sudah melewati ledakan bonus demografi namun ekonominya tetap stabil meskipun penduduk usia non-produktifnya saat ini sedang tinggi-tingginya.
"Ini yang membuat dunia kaget, di saat deflasi permanen dan di tengah penurunan tenaga produktif kok ekonomi Jepang tumbuh mengakumkan, padahal sekarang puncak-puncaknya Jepang didominasi usia 75 tahun sampai 90 tahun," kata Bursah.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE Indonesia) Muhammad Faisal yang juga hadir dalam diskusi, mengatakan Jepang memang mampu mengelola bonus demografi sehingga menjadi negara maju. Jepang saat ini sudah lulus mnjadi negara maju. "Pendapatan perkapitanya hampir 40 ribu dolar AS, sedangkan kita baru sekitar 3.900 dolar AS. Jadi gaji kita ini 1/10 orang Jepang," kata Faisal.
Faisal menuturkan, Indonesia pada tahun 2020 ini baru memasuki bonus demografi. Alasannya, Indonesia baru pada 2019 yang lalu naik dari status lower middle income ke upper middle income (pendapatan 3.896-12.055 dolar AS). Tren pertumbuhan ekonomi Indonesia pun relatif stagnan dalam 17 tahun terakhir, bahkan hanya 5 persen dalam 5 tahun terakhir.
Staf Khusus Presiden Jokowi Bidang Ekonomi Arif Budimanta, yang turut hadir dalam diskusi, mengungkapkan, Indonesia harus bisa memanfaatkan momentum demografi ini karena kalau gagal mengkapitalisasi momentum yang ada, maka bonus demografi hanya akan menjadi bencana.
Menurutnya Indonesia juga harus belajar dari kegagalan Brazil dan Afrika Selatan dalam mengkapitalisasi peluang bonus demografi. "Periode bonus demografi di Brazil dimulai awal 1970-an dan berakhir pada 2018 yang lalu. Brazil dianggap gagal mempersiapkan diri sejak awal periode bonus demografi dimulai,” katanya.
Arif mengambil contoh Brazil. Resesi ekonomi yang terjadi di Brazil telah banyak mempengaruhi sektor formal sehingga pemerintah lebih memprioritaskan alokasi sumber daya untuk kebutuhan jaring pengaman sosial dan pensiun.
Ini kemudian mengakibatkan defisit anggaran yang sangat besar sehingga Brazil tidak mampu mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk penyediaan akses pendidikan yang berkualitas, infrastruktur, kesehatan dan penyediaan lapangan pekerjaan.
Arif melanjutkan, dalam konteks memanfaatkan momentum bonus demografi, pemerintah tentu akan mendorong peningkatan produktivitas dan daya saing Sumber Daya Manusia (SDM). Dengan meningkatakan indeks pembangunan manusia sebesar 1 persen, maka mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 5 persen.