Jumat 14 Feb 2020 05:38 WIB

Pemerintah Jangan Apriori Sikapi Dokumen Tapol Papua

Amnesty International Indonesia mendorong pemerintah telusuri kebenaran dokumen itu.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan, sebaiknya pemerintah tidak apriori dalam menanggapi dokumen tahanan politik dan korban meninggal dunia Nduga. Seharusnya, pemerintah menelusuri kebenaran dokumen tersebut.

"Sebaiknya Menko Polhukam baca dahulu, telusuri kebenarannya, dan tidak apriori dahulu," ujar Usman melalui pesan singkat, Kamis (13/2).

Baca Juga

Menurut Usman, data yang diberikan kepada Presiden Joko Widodo secara langsung di Australia itu bukan bukan sekadar statistik. Dokumen itu merupakan info tentang manusia, baik yang kehilangan kemerdekaannya maupun yang kehilangan nyawanya. 

"Apa yang dilakukan oleh Veronica adalah wujud dari partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM," kata dia.

Ia juga mengatakan, data tersebut terlalu penting untuk dianggap sebagai sampah. Sebab, data itu bukan berisi informasi yang diada-adakan. Jika diada-adakan maka sebenarnya pemerintah dapat dengan mudah memverifikasinya.

"Misalnya, data 57 tahanan nurani atau tahanan politik dapat ditelusuri dari informasi tentang proses hukum yang dijalankan oleh jajaran lembaga penegak hukum. Menko Polhukam dapat meminta Kapolri, Jaksa Agung atau Menkumham," jelasnya.

Sebelumnya, pengacara dan aktivis HAM, Veronica Koman, mengatakan, dokumen tahanan politik dan korban meninggal di Papua diberikan langsung kepada Presiden Jokowi. Bahkan, sang pemberi dokumen itu sempat berswafoto dengan Jokowi.

"Iya yang menyerahkan bahkan sempat selfie dengan Pak Jokowi, malah Pak Jokowi yang pegang HP-nya. Cuma kan kami tidak mau fokus di masalah gimmick, kami mau fokus di substansi, yaitu soal data para korban ini," jelas Veronica melalui pesan singkat, Rabu (12/2).

Pada Senin (10/2) lalu, Veronica dan tim pegiat HAM lainnya di Canberra, Australia, berhasil menyerahkan dokumen-dokumen tersebut kepada Jokowi. Dokumen tersebut memuat nama dan lokasi 57 tahanan politik Papua yang dikenakan pasal makar, yang saat ini ditahan di tujuh kota di Indonesia.

"Kami juga menyerahkan nama beserta umur dari 243 korban sipil yang telah meninggal selama operasi militer di Nduga sejak Desember 2018, baik karena terbunuh oleh aparat keamanan maupun karena sakit dan kelaparan dalam pengungsian," terang Veronica.

Dia menjelaskan, data-data tersebut didapatkan dari berbagai sumber. Untuk tahanan politik, ia mendapatkan data tersebut dari hasil kompilasi data para pengacara HAM dan aktivis yang biasa menangani kasus makar Papua.

Sedangkan data korban meninggal dunia Nduga, ia mengaku mengumpulkan dari koalisi relawan masyarakat sipil yang secara swadaya membantu pengungsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement