Kamis 13 Feb 2020 12:11 WIB

Kontroversi Yudian Wahyudi; Cadar, Zina, & Agama Pancasila

Nama Yudian Wahyudi terkenal berkat kontroversi yang dibuatnya.

Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka)  Yogyakarta, Yudian Wahyudi.
Foto: Republika/Eric Iskandarsjah Z
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta membuka program magister informatika pada Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek). Pembukaan itu secara resmi dilakukan oleh Rektor UIN Suka, Yudian Wahyudi dan Dekan Fakultas Saintek UIN Suka, Murtono pada Senin (7/5).

Masa-masa sebagai doktorandus, Yudian aktif menerjemahkan. Kecakapan bahasa Arabnya sudah disaksikan bahkan di kalangan islamis. Generasi 1990-an mestinya buku Al-Iman kata Abdul Majid az- Zandani terbitan Al Kautsar ada nama Yudian sebagai tim penerjemah. Begitu pula di buku-buku yang akrab bagi kalangan harakah, sebut saja Evolusi Moral karya Muhammad Quthb. Buku soal ormas favorit saya, Persatuan Islam, yang dianggit ulet penulisnya, Howard M. Federspiel edisi Gadjah Mada University Press, juga menera nama Yudian.

Yudian, sekali lagi, memang sosok santri cerdas, tak salah bila di kemudian hari ia jadi profesor pertama kampus keislaman di Indonesia yang kali pertama berkantor di Harvard sekaligus anggota American Association of University Profesors, Harvard University. Dalam kecerdasan ia di studi Islam, lelaki yang pernah menyebut HM Rasjidi, menteri agama RI, sebagai “orang IAIN yang lemah metodologi”, ada potensi untuk berpaling dari orang yang memberikan kebajikan.

Alam berpikirnya, entah mengapa, seperti diliputi kekakuan menilai berdasar analisis yang menurutnya metodologis, ilmiah, bahkan mungkin paling islamis. Jangan terkaget bagaimana membaca ulasannya mengotak-kotakkan organisasi Islam dalam jangkar wahabi. Tak terkecuali ormas Pak AR dan istrinya. Jangan tanya pula bagaimana ia selaku anak santri Krapyak berbangga dengan simbol kearaban dengan berfasih dalam bahasa di depan naib.

Sayang, awal Maret 2018 ia tak lagi “konsisten” ramah pada simbol Arab. Cadar disebutnya “simbol ideologi dan kepentingan politik tertentu”. Sebuah ungkapan yang bisa dirujuk pada kefasihannya mendakwa wahabi kepada sesiapa yang berbeda dengan haluan ormasnya; metodologi yang sejatinya bisa dipertanyakan dan didialogkan ketimbang bergegas menilai.

Ironi ataukah paradoks pada Yudian dalam modus operandi mencari perhatian kekuasaan bukan kala era partai Megawati berkuasa dalam dua periode terakhir ini. Era Susilo Bambang Yudhoyono, Yudian juga menyeruak jadi penahbis klan sang Presiden yang terhubung pada nama besar alim era Pangeran Dipanegara.

Ya, pada 2012 sebuah karya "penelitian" Yudian berjudul Perang Diponegoro: Tremas, SBY dan Ploso terbit. Tidak begitu jadi perbincangan memang. Dan imbas atas keterlibatan Yudian atas terbitnya buku itu, yang waktu itu ditulis sebelum ia duduk sebagai rektor, juga tak begitu diketahui khalayak.

"Dia memang pintar. Hanya saja lemah dalam interpersonal," seorang kawan pernah menyebutkan ucapan seorang mentor pergerakan cum akademisi yang sahabat dan mengenal baik Yudian. Kawan Yudian ini sudah mafhum bila urusan intelektual, dia tak perlu diragukan. Tidak demikian untuk urusan pergaulan.

Tampaknya Yudian ada "problem" dalam sisi ini. Intelektual yang belum paripurna bukan dari sisi kapasitas mencerna analisis kajian studi Islam yang dikuasainya. Seturut ucapan dia pada Pak Rasjidi, seperti itulah ringkih adab padanya. Dan ini rawan ketika masuk dan berobsesi pada kekuasaan. Maka, kalau dia sewaktu-waktu bicara agama diposisikan sebagai ancaman terbesar Pancasila, tak begitu mengherankan.

Muasalnya memang Yudian perlu dan masih ingin diperhatikan. Hatta ketika jabatan ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila sudah direngkuhnya. Ia masih perlu kontroversi; sebuah cara menutupi keterbatasan diri tapi di benaknya sebagai pesona pancaran aktivitas akademis nan ilmiah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement