Kamis 13 Feb 2020 04:31 WIB
islam

Islam, Candu, Tuhan Telah Mati: Agama Lawan Pancasila?

Agama bukan lawan pancasila gak usah dibenturkan

Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi (kiri) didampingi istri, menerima ucapan selamat dari Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri (kanan) seusai dilantik di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Foto:

Usaha rezim Orde Baru untuk mendamaikan kecurigaan agama dengan Pancasia kemudian diwujudkan melalui usaha pembentukan 'Asas Tunggal Pancasila'. Pada awalnya juga bikin kehebohan. Organisasi mahasiswa intra universitas seperti HMI terpecah antara yang pro azas tunggal Pancasila dan ada yang menolak dengan tetap berazas Islam dengan argumen agama (Islam) tak bertentangan dengan Pancasila.

Ormas Islam pun sempat gamang. Muhammadiyah dan NU misalnya sempat tarik ulur asas soal asas tunggal ini. Untungnya gejolak NU bisa diredam dengan kipiawaian Gus Dur yang saat itu runtang-runtung mengajak LB Moerdani menemui para kiai di pesantren.

Di Muhammadiyah Pak AR Fachruddin dengan keluwesan diplomasinya pun berhasil menuntaskan soal ini. Dalam sebuah khotbah Jumat di Masjid Kauman, Yogyakarta, dia istilahkan Pancasila itu seperti helm kala hendak naik kendaraan motor yang harus dipakai.''Kalau tidak naik motor kan helm tidak dipakai. Masa lagi duduk sarungan di rumah harus pakai helm,'' kata Pak AR dengan ringan.

Keriuhan dan suara adanya gerilya ingin mendirikan negara agama (Islam) juga kembali bergema menjelang tahun 1990-an saat akan diundangkannya UU pengadilam agama. Kepala keamanan negara saat itu dengan ketus mengatakan bahwa ini menjadi bukti bahwa masih ada gerilya ke Piagam Jakarta. Namun suara ini kemudian meredup setelah Presiden Soeharto mendekat ke umat Islam dengan membentuk ICMI, Bank Syariah, pergi haji, dan lainnya.

Dan bulan madu ini hilang setelah datangnya masa reformasi. Soal hubungan agama dan Pancasila entah kenapa menjadi persoalan baru yang terlihat enggan diselesaikan. Dan makin menjadi setelah terjadi peristiwa robohnya Menara Kembar di New York pada 9 September 2001. Saat itu dunia mulai disibukan isu baru soal jihad dan terorisme yang disematkan kepada Islam. Soal ini pun kian hari kini semakin rumit  karena terkait dengan penguasaan kekuatan global berupa 'kolonialisme baru' setelah tumbangnya kolonialisme lama seiring hancurnya ideologi komunis Uni Sovyet.

Maka mulai saat itu soal baru tersebut kemudian bertiwikrama. Dari sepele menjadi raksasa, dari sekedar kucing menjadi harimau. Ramalan benturan peradaban oleh Samuel P Hutington mulai jadi pembenar. Musuh baru usai tumbangnya 'musuh lama dunia' adalah Islam dan China. Dunia pun ribut dan dunia terus mencari keseimbangan baru.

Imbas lainnya, seperti lazimnya, Indonesia pun menjadi korban. Soal hubungan agama dan Pancasila kembali meruncing bersamaan dengan munculnya ekspansi kekuatan ekonomi Cina yang kini menjadi pesaing Amerika Serikat,  peran yang sebelumnya dilakukan Jepang.

Tapi, bila dirunut lagi, publik sebaiknya tidak usah kuatir. Isu 'lawan melawan ini' ujungnya tak membuat agama (Islam) mati. Memang boleh saja filusuf Jerman, Niestzhe, mengatakan Tuhan telah mati atau Karl Marx mengatakan agama itu candu? Tapi faktanya agama tetap hidup dikala sebuah ideologi mati. Agama seakan punya sejuta nyawa alias tak bisa dimatikan.

Lihat saja apa yang terjadi di Amerika Latin, Rusia, Eropa Timur, Yugoslavia setelah bubar atau rezim berganti. Yang muncul ternyata bukan ideologi baru atau paham lain, malah yang muncul adalah agama yang dulu telah berurat dan berakar di sanubari rakyatnya, misalnya Islam, Kristen, Katolik, atau yang lainnya. Di London gereja bisa saja tutup dan diganti masjid hinga ibu kota Inggirs ini disebut 'Londonistan'. Juga di Belanda hal yang sama juga terjadi. Tapi, bukannya agama yang mati, tapi agama lain (Islam tumbuh subur menggantikan agama Kristen). Justru ideologi yang kehilangan pengikutnya. Begitu juga di China, Kamboja, dan Mynmar. Agama berusaha dilibas melalui revolusi komunis ala Mao Tse Tung di Cina. Tapi Uighur yang Islam dan agama Katolik sampai kini diam-diam tetap eksis di sana. 

Begitu pula di Tibet, Dalai Lama meski hingga kini tetap tak boleh pulang oleh pemerintah China, tapi agama Budha di negeri 'atap dunia' itu tetap eksis. Sama halnya juga dengan Kamboja di dekade 60-70-an dulu. Vihara dan orang Budha boleh dibantai secara massal, tapi rezim Khmer Merah Polpot tetap tak bisa menghapus agama Budha. Juga di Mynmar, mungkin ada usaha untuk mereduksi dan mengusir orang Islam dari suku Rohingnya di sana. Tapi terbukti Islam tetap eksis. Agama ternyata kenyal dan liat atas benturan zaman. Bahkan agama Majusi yang sudah sangat lama dan hidup mengarungi berbagai era represi penguasa zaman dan ideologi, sampai kini tetap eksis. Keluarga penyanyi legenda dunia, Freddie Mercury alias Faruq Bulsara, bisa menjadi contoh konkritnya.

Eloknya, dari kasus ini soal agama lawan ideologi negara, harusnya bisa mencontoh apa yang dilakukan Presiden Rusia Vladimir Putin atau para penguasa Turki pada hari-hari ini. Putin berusaha keras membentuk identitas baru Rusia yang berbeda dengan era Uni Soviet: Rusia menjadi ramah agama. Bahkan Putin mengatakan tak ragu akan nasionalisme umat Islam di negaranya.''Bila negara ini (Rusia) diserang merekalah yang akan maju bertempur membela negara ini!" Dan kini di Rusia agama 'Katolik Timur'  dan Yahudi pun bangkit. Ideologi ateis komunis pun ternyata tak mampu menghapuskan Tuhan dan agama dalam benak manusia.

Contoh lain yang paling nyata ya di Iran. Di bawah rezim Sah Reza Pahlevi yang liberal gaya Amerika ternyata tak menggoyahkan keyakinan penduduknya yang merupakan Islam Syiah. Bahkan hanya dipimpin seorang ulama tua yang berada di pengasingan dan menyebarkan ceramah melalu rekaman audio karena tinggal di Prancis, Sah Iran pun yang punya ideologi liberal barat itu pun tumbang. Iran gagal menepikan agama dari benak rakyatnya.

Anehnya, bila dunia barat begitu takut ketika kekuatan agama Islam seperti Iran, di Mesir, atau di Aljazair pad zaman FIS, menjelma menjadi kekuatan politik, mereka tak sadar --bahkan acuh-- saja ketika agama bukan Islam (Kristen) menguasai sebuah negara. Lihat saja pada kasus Jerman yang sampai kini pemenang pemilunya tetap dikuasi Partai Kristen Demokrat. Atau juga Philiphina di mana para kardinal begitu berpengaruh setiap kali ada pemilihan presden. Hal serupa juga terjadi di negara-negara Amerika Latin.

Bahkan di Amerika Serikat pun begitu, tanpa perlu gembar-gembor dan dianggap fundamentalis atau kaum ekstrim, kelompok agama Kristen Protestan --meski tersebar dalam banyak aliran-- di sana tetap menjadi penentu pemilu. Bahkan Goerge Bush dahulu ketika hendak mencari dukungan menjadi presiden dia sempat mencitrakan diri sebagai penganut agama yang taat. Uniknya, beda dengan Indonesia yang berpancasila, Bush tak ramai dituding sebagai kelompok fundamentalis yang ingin menjadikan agama sebagai permainan politik praktis. Ingat Bush senior yang menyerukan seruan jihad ala barat 'Crusaide' alias perang salib untuk menghadapi Usmah bin Laden dan kawan-kawannya.

Alhasil, dengan munculnya banyak sekali paradoks itu, maka berhentilah 'berpanjang angan' bawa agama itu lawan dari Pancasila. Ingatlah dahulu juga pada sikap Tan Malaka yang kemudian memutuskan diri tak mau berkiblat ke komunis Sovyet karena Lenin menolak sarannya agar bekerja sama dengan Islam sebagai cara untuk melawan kolonialisme. Kata Tan Malaka: Islam punya kekuatan untuk melawan itu semua.

Maka janganlah nekad atau omong sembarangan. Ingatlah pada sejarah kalau terus dilawankan dan dibenturkan dengan Pancasila atau ideologi lainnya, agama pasti akan ke luar sebagai pemenang. Maka bijaklah berpikir dan berdamai dengan keadaan!

Akhirnya, kini terbukti ternyata baru mendiang DR Nurcholish Madjid yang bisa menerangkan Pancasila beserta kajian filsafat dan praktisnya dengan begitu baik. Sepeninggal dia ternyata belum ada sosok yang secanggih dengannya. Mungkin nanti itu ada sosok muridnya yang bernama Yudy Latif itu. Tampaknya dialah yang kini paling otoritatif bicara Pancasila. Sayangnya, dia sudah terlanjur mundur dari posisi BPIP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement