Rabu 12 Feb 2020 15:02 WIB

BKKBN:Kawin Usia Belasan Tahun Berpotensi Kanker Mulut Rahim

Kepala BKKBN ingatkan kawin di usia 16-17 tahun berpotensi lebih besar kena kanker

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo  ingatkan kawin di usia 16-17 tahun berpotensi lebih besar kena kanker mulut rahim. Ilustrasi.
Foto: dok. Humas BKKBN
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo ingatkan kawin di usia 16-17 tahun berpotensi lebih besar kena kanker mulut rahim. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa perkawinan atau pernikahan pada usia sekitar 16-17 tahun sangat berisiko. Risiko yang mengadang saat perkawinan dilakukan di usia belasan tahun adalah terkena kanker mulut rahim.

"Kawin di usia 16-17 tahun itu risiko kanker mulut rahimnya jauh lebih besar," kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo di sela-sela rangkaian acara Rakernas BKKBN 2020 di Jakarta, Rabu (12/2).

Baca Juga

Ia menuturkan area mulut rahim pada usia remaja atau 16-17 tahun masih terbuka sehingga daerah yang berpotensi terkena kanker masih berada di luar. Kondisi itu, katanya, berbeda dengan orang dewasa di atas 20 tahun yang mulut rahimnya sudah menutup. Dengan demikian daerah yang akan menjadi kanker sudah tertutup dan sudah terlindungi.

"Sehingga kalau berhubungan seksual itu daerah yang mau jadi kanker masih terekspos dan kena trauma dari hasil hubungan seksual dengan pasangan," katanya.

Akibat dari hubungan seksual di usia dini tersebut, proses patologi kanker mulut rahim dapat terjadi di area tersebut dalam 10-15 tahun ke depan. Karena itu menurut dia, perkawinan sebaiknya dilakukan pada usia 19 tahun ke atas agar proses reproduksi tidak memberikan dampak negatif terhadap kesehatan.

Untuk itu ia menekankan pentingnya memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada remaja sehingga mereka tahu bagaimana cara menjaga kesehatan reproduksi. "Ini kan pengetahuan dan ini ilmu Tuhan, bukan ilmu dokter, karena Tuhan memang menciptakan kita seperti itu. Mestinya ini kita bagikan kepada mereka," ujarnya.

Pendidikan seksual menurutnya berbeda dengan pendidikan kesehatan reproduksi. Karena itu, ia juga menyarankan agar masyarakat dapat lebih terbuka terhadap perlunya mendapatkan pendidikan tersebut.

"Ini adalah pendidikan kesehatan reproduksi, sehingga jangan sensitif terhadap pendidikan kesehatan reproduksi. Karena pendidikan kesehatan reproduksi itu jangan disalahartikan sebagai pembelajaran untuk seksualitas," tegas Hasto Wardoyo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement