Senin 10 Feb 2020 15:27 WIB

Dukungan Regulasi Teknis Penting Percepat Penurunan Stunting

Anak yang sudah mengalami gangguan gizi, harus diberikan mikronutrien.

Pengamat dan aktivis kesehatan DR. Dr. Tubagus Rachmat Sentika, SpA, MARS.
Foto: Istimewa
Pengamat dan aktivis kesehatan DR. Dr. Tubagus Rachmat Sentika, SpA, MARS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya penurunan angka stunting telah menjadi perhatian pemerintah dan dukungan untuk mengurangi angka stunting telah gencar disuarakan oleh berbagai pejabat pemerintah. Dalam rangkaian peringatan Hari Pers Nasional (HPN), panitia HPN juga menggelar seminar dengan tema upaya penurunan stunting yang menghadirkan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhajir Effendi serta Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto.

Kedua menteri kembali menegaskan pentingnya atasi masalah stunting demi mewujidkan generasi unggul di era Indonesia emas tahun 2045 mendatang. Dukungan serupa juga diberikan oleh pejabat lain seperti Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Pedesaan dan Daerah Tertinggal Abdul Halim Iskandar.

Pengamat dan aktivis kesehatan DR. Dr. Tubagus Rachmat Sentika, SpA, MARS, yang pernah menjabat sebagai Deputi Menko PMK 2014-2016, mengapresiasi tekad pemerintah dalam upaya menurunkan angka stunting. Namun, Rachmat mengkritisi kurangnya infrastruktur regulasi di Kementerian Kesehatan dalam upaya penanganan masalah stunting secara menyeluruh.

Menurut Rachmat Sentika, meskipun Kementerian Kesehatan telah menerbitkan aturan tentang Tata Laksana Gangguan Gizi Akibat Penyakit melalui Permenkes 29 tahun 2019 implementasinya masih belum berjalan dengan baik. Aturan tersebut jelas sekali menyebutkan bahwa penanganan stunting harus dilakukan melalui survailans dan penemuan kasus oleh Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM).

"Selanjutnya bila ditemukan gangguan gizi baik gizi buruk, gizi kurang, kurus, alergi atau masalah medis lainnya harus diberikan Pangan Khusus Medis khusus (PKMK),” jelas Rachmat dalam rilisnya, Senin (10/2).

PKMK merupakan minuman dengan  kalori 100 dan 150. Nutrisinya berisi elementeri diet berupa asam amino, glukosa, asam lemak dan mikronutrien yang secara evidence base sangat cocok untuk anak-anak di bawah dua tahun yang mengalami gangguan gizi. Penelitian intervensi yang dilakukan oleh Profesor Damayanti dari RSCM di Kabupaten pandeglang pada tahun 2018 menunjukkan bahwa anak-anak dengan gizi buruk/kurang naik secara signifikan setelah diberikan PKMK dalam dua bulan.

Rachmat menambahkan, seharusnya semua Puskesmas dan Rumah Sakit wajib menyediakan anggaran PKMK selain Anggaran PMT untuk menangani gangguan gizi yang akan berdampak pada stunting.

Selama ini, lanjut dia, apa yang dirancang dan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dinilai tidak efektif. Terlihat tidak ada sinergitas antara Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) dalam penanganan stunting.

Dalam empat tahun ini, Kementerian Kesehatan menghabiskan dana trilyunan rupiah dengan pemberian makanan tambahan berupa biskuit. Biskuit menjadi primadona Kementerian Kesehatan dalam penanganan stunting.

Padahal biskuit merupakan makanan makronutrien yang berfungsi untuk mencegah anak agar tidak jatuh pada gangguan gizi. Bagi 30 persen anak yang sudah mengalami gangguan gizi harus diberikan mikronutrien dalam bentuk PKMK tadi. Dan Pemerintah harus menyediakan PKMK itu di seluruh fasilitas kesehatan baik Puskesmas maupun Rumah Sakitnya.

Stunting atau gagal tumbuh adalah tinggi badan tidak sesuai dengan ukuran normal. Oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), stunting dijadikan ukuran kualitas hidup anak suatu Negara. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat ada 30,8 persen balita di Indonesia termasuk stunting.

Jika balita mengalami masalah gizi dalam usia di bawah dua tahun artinya perkembangan dan pertumbuhan otak dan sarafnya terganggu. Tingkat kecerdasannya sangat rendah. Semua anak yang mengalami stunting mempunyai IQ yang rendah.

Jadi bayangkan 30,8 persen atau sekitar 8 juta anak Indonesia tiap tahun menderita stunting dan akan tumbuh menjadi anak-anak yang tidak mungkin dapat lulus SD apalagi mampu bersaing dalam berbagai hal.

Kementerian Kesehatan telah menerbitkan aturan tentang Tata Laksana Gangguan Gizi Akibat Penyakit melalui Permenkes 29 tahun 2019 implementasinya masih belum berjalan dengan baik karena belum ada aturan aturan lanjutan untuk mendukung pelaksanaan Permenkes tersebut.

Rachmat berharap, pejabat berwenang di Kemenkes segera menata ulang regulasi untuk mendukung Permenkes 29 tahun 2019 agar anak Indonesia bebas dari stunting dan menjadi generasi penerus yang unggul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement