Jumat 07 Feb 2020 21:33 WIB

Gubernur Sebut RUU Bali Bukan untuk Bentuk Daerah Otsus

RUU Bali untuk memperkuat otonomi di tingkat kabupaten/kota.

Gubernur Bali Wayan Koster (kiri)
Foto: Antara/Nyoman Hendra Wibowo
Gubernur Bali Wayan Koster (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR  - Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan pengajuan pembahasan RUU Provinsi Bali ke DPR RI bukan untuk membentuk daerah otonomi khusus, melainkan untuk memperkuat otonomi di tingkat kabupaten/kota.

"Otonomi tetap di tingkat kabupaten/kota, dan melalui RUU Provinsi Bali, kami harapkan justru ketimpangan kabupaten/kota di Bali segera teratasi," kata Koster saat menemui Badan Legislasi DPR RI untuk melakukan presentasi RUU Provinsi Bali, di Jakarta, Jumat (7/2).

Koster mengemukakan tujuannya mendatangi Badan Legislasi DPR RI untuk mempercepat meloloskan RUU Provinsi Bali. Sebelumnya Gubernur Bali juga telah mendatangi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dengan berhasil mengantongi rekomendasi dukungan dari Mendagri Tito Karnavian pada Desember 2019 lalu. Selain itu juga rekomendasi dukungan dari DPD RI serta dukungan dari Komisi II DPR RI.

Dalam pertemuan yang berlangsung di Gedung Nusantara I DPR RI ini, Koster bersama rombongan yang terdiri dari bupati/wakil bupati se-Bali, pimpinan DPRD Provinsi, Ketua DPRD kabupaten/kota, tokoh politik, para rektor, para ketua organisasi umat lintas agama dan tokoh adat tersebut diterima oleh Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas didampingi Putra Nababan, Arif Wibowo dan Kariasa Adnyana.

Dalam pemaparannya, Gubernur Koster menyebutkan sejumlah alasan mendasar terkait pengajuan RUU Provinsi Bali. Salah satunya yang termasuk fundamental ialah bahwa Bali dibentuk dengan Undang-Undang 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang masih berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950) dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).

Padahal saat ini, Indonesia menggunakan UUD 1945 dengan bentuk negara yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan berbentuk federal seperti halnya zaman RIS.

"Jadi (UU No 64 Tahun 1958) sudah tidak relevan lagi. Saat itu (RIS), misalnya namanya masih Sunda Kecil dan Ibu Kotanya di Singaraja. Dan ibu kota Provinsi Bali sekarang adalah Denpasar. Sekarang kita kan NKRI, Bali bagian NKRI. Jadi kalau pakai Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1950, Bali, NTB dan NTT kan negara bagian (Federal). Jadi undang-undang ini memang harus diubah," ucapnya.

Selain tidak lagi sesuai dengan UUD 1945 dan NKRI, sejumlah produk hukum daerah seperti Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur dalam konsiderannya masih mengacu pada UU Nomor 64 Tahun 1958 yang sebetulnya sudah tak berlaku lagi.

"Ini pertimbangan utama, karena Undang-Undang ini masih berlaku, sehingga setiap produk hukum di daerah Bali, kami masih gunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 yang secara substansi tidak bisa dilakukan sebagai rujukan sehingga tidak sesuai dengan hukum tata negara," ujarnya.

Selain itu, menurutnya UU Nomor 64 Tahun 1958 sudah tidak mampu lagi mengakomodasi kebutuhan perkembangan zaman dalam pembangunan daerah Bali.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement