Kamis 06 Feb 2020 05:24 WIB

KSP Sebut Perlu Pertimbangan Matang Pulangkan WNI Bekas ISIS

Pemulangan WNI Bekas ISIS harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian bagi negara.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Ratna Puspita
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko
Foto: Republika/Wihdan
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengatakan pemerintah belum bisa memberi kepastian terkait pemulangan ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) bekas ISIS. Dia melanjutkan, pemulangan mereka harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian bagi negara.

"Belum ada pertimbangan pasti," singkat Moeldoko saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (5/2).

Baca Juga

Dia mengungkapkan pemerintah hingga saat ini juga masih belum menyiapkan kebijakan berkenaan dengan ratusan WNI eks ISIS tersebut. Menurutnya, pemulangan mereka membutuhkan rapat terbatas dari semua pihak.

"Semua pihak nanti akan pertimbangan yang baik. Untung ruginya seperti apa," kata mantan panglima TNI tersebut.

Sebelumnya, wacana pemulangan ini dilontarkan Menteri Agama Fachrul Razie. Dia mengatakan pemerintah bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendata ada 600 WNI yang tersesat setelah sempat ikut gerakan ISIS di Timur Tengah.

Dia mengungkapkan, saat ini mereka sedang terlantar dan karena kepentingan kemanusiaan akan dikembalikan ke Indonesia. Di antara mereka juga ada yang telah membakar paspornya.

Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris mengatakan, belum ada keputusan pasti terkait pemulangan ratusan WNI eks ISIS. Jika dipulangkan, sudah menjadi tugas BNPT untuk melakukan deradikalisasi. 

Dia mengatakan, proses deradikalisasi terhadap mereka memang menjadi tugas BNPT sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme. Di dalam peraturan tersebut sudah terurai lengkap apa saja yang dilakukan BNPT.

Pemerintah Indonesia memang dihadapkan pada pilihan dalam menyikapi WNI yang menjadi teroris pelintas batas atau foreign terrorist fighter (FTF) di negara lain. Pengambilan sikap tersebut ditentukan paling lambat pertengahan tahun 2020.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement