REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sindikat perdagangan eksploitasi anak di bawah umur secara seksual dan ekonomi di Penjaringan, Jakarta Utara merupakan persoalan yang tak bisa ditawar menawar. Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI) Antonius PS Wibowo menegaskan selain memproses hukum ada hal lain yang juga tak kalah penting, yaitu perlindungan terhadap anak yang menjadi korban.
LPSK, kata dia, mendukung aparat penegak hukum memproses para pelaku perdagangan dan eksploitasi anak di bawah umur. "Dukungan itu termasuk kesiapan LPSK RI memberikann perlindungan kepada anak korban sesuai Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban," ujar Antonius dalam keterangannya, Sabtu (25/1) lalu.
Menurut Antonius, inti dari kedua pasal tersebut adalah anak korban kekerasan seksual dan atau korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berhak atas perlindungan dari LPSK serta dapat mengakses layanan yang disediakan negara melalui LPSK, mulai bantuan medis, rehabilitasi psikologis maupun rehabilitasi psikososial.
“LPSK berharap kasus (eksploitasi anak di bawah umur secara ekonomi dan seksual di Penjaringan, Jakarta Utara) tersebut dapat diproses berdasarkan UU Perlindungan Anak dan sekaligus UU Pemberantasan Tindak Pidana TPPO,” kata Antonius.
Karena, sambung dia, jika kasus ini akan diproses berdasarkan UU Tindak Pidana TPPO, pihak kepolisian dapat langsung memintakan perlindungan bagi anak korban kepada LPSK. Namun, seandainya diproses menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak, LPSK berharap elemen masyarakat yang peduli dengan perlindungan anak, semisal Lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun Lembaga bantuan hukum (LBH) bersedia menjadi pendamping dan memintakan perlindungan ke LPSK.
“Berdasarkan kewenangan yang dimandatkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK RI juga bisa melakukan tindakan proaktif untuk memberikan perlindungan bagi anak korban,” tegas Antonius.
Ia menekankan, kementerian, lembaga atau satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang memiliki tugas, pokok dan fungsi perlindungan anak, juga dapat mengambil peran sebagai pendamping dan memohonkan perlindungan bagi anak korban ke LPSK.
“Langkah selanjutnya, LPSK akan menggandeng K/L dan SKPD/pemda terkait untuk bersama-sama memberikan perlindungan dan layanan medis, psikologis, psikososial, dan hak lainnya bagi anak korban pelacuran/TPPO itu,” tegas Antonius.
Sebab, lanjut dia, menurut kedua undang-undang itu, baik UU Perlindungan Anak maupun UU Pemberantasan Tindak Pidana TPPO, pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab pada masalah perlindungan anak dan penanganan korban.
Diketahui, Polda Metro Jaya membekuk enam tersangka sindikat perdagangan dan eksploitasi anak di bawah umur secara seksual dan ekonomi. Mereka diketahui memaksa dan mempekerjakan 10 anak perempuan sebagai pekerja seks komersial (PSK) di Cafe Khayangan, Jalan Rawa Bebek, RT 02/RW 13, Penjaringan, Jakarta Utara. Enam tersangka yang ditangkap masing-masing berperan sebagai pemilik kafe bersama dan mucikari.