REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebutkan terdapat 110 desa definitif yang disahkan negara dalam hutan kawasan. Kehadiran desa-desa tersebut rentan penyebab kerusakan hutan.
“Adanya 110 desa definitif yang disahkan oleh negara, tetapi kenyataannya dipandang sebelah mata oleh negara. Ada yang masuk hutan kawasan dan juga di luar hutan kawasan,” kata Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri pada Diskusi Publik “Membangun Sinergi dalam Upaya Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Universitas Bandar Lampung, Rabu (22/1).
Menurut dia kehadiran desa-desa definitif yang telah disahkan negara, menjadi masalah besar dalam upaya penegakkan hukum terhadap kerusakan hutan di Lampung. Selain itu, desa-desa definitif itu juga menjadi “bulan-bulanan” bagi negara dalam menyalahkan kerusakan hutan yang ada.
Ia mengatakan, maraknya desa-desa definitif yang disahkan negara, menjadikan banyak oknum yang memanfaatkan situasi dan kondisi tersebut. Mereka melakukan praktik ilegal dalam jual beli lahan kepada masyarakat dalam hutan kawasan atau hutan negara.
“Di desa-desa definitif tersebut, ada permainan oknum-okunm masyarakat dan aparat dalam pelepasan lahan dengan memperjualbelikan lahan tersebut. Banyak warga yang telah dibohongi,” ujarnya.
Walhi memandang, pemberantasan ilegal logging (pembalakan liar) saat ini masih sulit dilakukan. Pasalnya, pelaku pembalakan liar di hutan di wilayah Lampung kenyataannya lebih hebat dari polisi dan TNI. “Mereka membawa senjata api dan lebih hebat dari aparat di lapangan,” katanya.
Gubernur Lampung Arinal Djunaid mengatakan, kerusakan hutan di Lampung telah mencapai 37,42 persen dari luas lahan hutan di Lampung 1,475 juta hektare. Menurut dia, terjadi kerusakan hutan yang masih dalam dua tahun terakhir.
“Pengawasan hutan sekarang ini sangat lemah. Bagaimana tidak lemah, yang mengawasi (Kantor Gakkum LHK) berada di Medan, Sumatra Utara, sedangkan yang diawasi di Lampung,” kata Arinal Djunaidi, yang pernah menjabat kepala Dinas Kehutanan Lampung selama enam tahun.
Ia berharap pemerintah pusat bila tidak sanggup lagi mengawasi hutan-hutan di Lampung yakni hutan kawasan (konservasi), hutan lindung, dan hutan produksi, sebaiknya dikembalikan dan diserahkan lagi kepada daerah. “Kalau tidak mampu serahkan lagi ke daerah,” ujarnya.
Selama ini, ujar dia, penegakkan hukum terhadap pelaku pembalakan liar di hutan Lampung masih sebatas sopir dan kernet yang membawa kayu balok dan potongan di jalan. Sedangkan cukong dan pemiliknya tidak pernah tersentuh sama sekali.