Kamis 23 Jan 2020 02:07 WIB

Perpres Harus Diubah Jika Iuran Kelas III JKN tak Ingin Naik

Pemerintah dan DPR tidak memiliki kekuatan hukum mengubah besaran iuran JKN.

Mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Kota Kembang melakukan aksi teaterikal menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Rabu (15/1/2020).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Kota Kembang melakukan aksi teaterikal menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Rabu (15/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus diubah bila ingin iuran peserta mandiri kelas III program JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan tidak dinaikkan. Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas (Unand) Padang Feri Amsari, Rabu (22/1), mengatakan, kesimpulan rekomendasi hasil rapat dengar pendapat antara pemerintah dan Komisi IX DPR RI tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengubah ketentuan mengenai besaran iuran JKN yang sudah disahkan oleh Perpres 75/2019.

"Pertama BPJS adalah lembaga yang dibentuk oleh undang-undang dan ditugaskan untuk menjalankan undang-undang. Sudah tentu bagi BPJS undang-undang jauh lebih utama dibandingkan rekomendasi DPR atau sejumlah pejabat, apalagi sifatnya itu kan rekomendasi, bisa diikuti bisa tidak," kata Feri.

Baca Juga

Hal tersebut berkaitan dengan kekecewaan yang diluapkan oleh Komisi IX DPR RI dan juga Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada rapat dengar pendapat (RDP) tentang BPJS Kesehatan, Senin (20/1). Komisi IX DPR RI dan Menkes mengutarakan kekecewaanya karena BPJS Kesehatan tidak melaksanakan hasil rekomendasi kesimpulan RDP pada 12 Desember 2019 untuk tidak menaikkan iuran peserta mandiri kelas III.

Menurut Feri, bila Menteri Kesehatan dan Komisi IX DPR RI menginginkan iuran peserta JKN mandiri kelas III tidak naik, maka pemerintah bersama DPR harus mengubah aturan hukum yang sudah ada saat ini. Yaitu, melalui perubahan peraturan presiden ataupun undang-undang terkait JKN.

Dia menyarankan, agar saran atau rekomendasi yang dihasilkan dari RDP antara pemerintah dan DPR dikaitkan dengan undang-undang atau peraturan terkait seperti Perpres 75 Tahun 2019 yang berisi tentang perubahan iuran JKN. Namun, Feri menegaskan apabila Presiden Joko Widodo yang mengesahkan Perpres tidak berkehendak untuk mengubah aturan terkait iuran JKN, maka perubahan iuran juga tidak boleh dilakukan di bawah Presiden melalui menteri atau DPR.

"Kan BPJS bertanggung jawab pada presiden," kata Feri.

Sebelumnya pada rapat dengar pendapat antara kementerian-lembaga terkait penyelenggaraan JKN dengan Komisi IX DPR pada 12 Desember 2019 menghasilkan beberapa simpulan rekomendasi. Salah satu rekomendasinya adalah memanfaatkan adanya potensi surplus keuangan BPJS Kesehatan akibat dampak kenaikan iuran pada 2020 sebagai subsidi untuk membayar selisih iuran peserta mandiri kelas III.

Rekomendasi tersebut bertujuan untuk mengalihkan potensi dana yang surplus dari iuran peserta PBI yang dibayarkan pemerintah melalui APBN sebesar Rp42 ribu per orang, digunakan untuk menyubsidi iuran peserta mandiri kelas III sehingga peserta mandiri yaitu segmen Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja kelas III tidak mengalami kenaikan iuran menjadi Rp42 ribu melainkan tetap Rp25 ribu per bulan lantaran telah disubsidi.

Namun, pada 2020 BPJS Kesehatan tetap menaikkan besaran iuran program JKN termasuk untuk segmen peserta mandiri kelas III berdasarkan pada peraturan yang telah disahkan, yakni Perpres 75 Tahun 2019. Atas hal itulah Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan Komisi IX DPR RI merasa kecewa karena BPJS Kesehatan tetap menaikkan iuran.

"Mestinya rasa kekecewaan tentang BPJS harus dimaklumi dengan cara pandang yang berbeda. Sepanjang BPJS didukung oleh Presiden, dan sesuai dengan Peraturan Presiden ya ngga boleh kecewa juga," kata Feri.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement