Selasa 21 Jan 2020 09:47 WIB

Ketua Ikatan Gay Tulungagung Akui Cabuli Anak-Anak

Polisi menemukan 11 anak korban pencabulan Hasan.

Ditreskrimum Kepolisian Daerah Jawa Timur menangkap warga Kecamatan Gondang, Tulungagung, Hasan (41) yang akrab disapa Mami, atas dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur. Tersangka yang merupakan pengelola kedai kopi tersebut, juga mengaku sebagai ketua Ikatan Gay Tulungagung
Foto: Republika/Dadang Kurnia
Ditreskrimum Kepolisian Daerah Jawa Timur menangkap warga Kecamatan Gondang, Tulungagung, Hasan (41) yang akrab disapa Mami, atas dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur. Tersangka yang merupakan pengelola kedai kopi tersebut, juga mengaku sebagai ketua Ikatan Gay Tulungagung

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Ikatan Gay Tulungagung, Hasan (41 tahun) alias Mami, ditangkap Ditreskrimum Polda Jawa Timur atas dugaan pencabulan terhadap belasan anak laki-laki, kemarin. Hasan mengaku telah melakukan perbuatan bejatnya sejak 2018. Namun, dia enggan menjawab secara pasti jumlah korbannya.

"Satu tahun ini, 2018 sampai 2019," kata Hasan di Mapolda Jatim, Jalan Ahmad Yani, Surabaya, Senin (20/1).

Hasan mengaku, para korban datang sendiri ke rumahnya di Kecamatan Gondang, Tulungagung, karena butuh uang. Hasan memberikan uang kepada para korban dengan syarat mau berhubungan badan dengannya. "Mereka datang ke saya butuh uang, terus (saya tawari) main, mau? Mereka datang ke rumah saya. Saya ajak masuk kamar," ujar Hasan.

Direktur Ditreskrimum Polda Jatim Kombes R Pitra Andrias Ratulangie mengatakan, berdasarkan penyelidikan awal, setidaknya ada 11 anak yang diduga menjadi korban Hasan. Pitra memastikan pengelola kedai kopi tersebut adalah ketua Ikatan Gay Tulungagung.

"Dia adalah ketua ikatan gay di Tulungagung. Jadi, gay ini ada ikatannya juga dan dia ini ketuanya," ujar Pitra.

Pengungkapan kasus tersebut bermula dari laporan masyarakat terkait dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan Mami alias Hasan. Setelah 12 hari melakukan penyelidikan, polisi akhirnya menangkap Hasan dan menetapkannya sebagai tersangka.

"Pada saat penyelidikan, kami telah menemukan kurang lebih 11 korban anak-anak di bawah umur yang menjadi korban dari tersangka Mami (alias) H ini. Usia para korban di bawah 17 tahun," kata Pitra.

Hasan menggunakan modus pembayaran terhadap korban yang menongkrong di kedai kopi miliknya. Para korban diiming-imingi dengan Rp 150 ribu hingga Rp 250 ribu jika bersedia memenuhi hasrat bejatnya.

"Kemudian, anak yang terjebak dibawa ke rumah yang bersangkutan. Di sanalah dia melakukan pencabulan terhadap para korban. Barang buktinya banyak, ada 23 item, mulai celana hingga CD berisikan gambar laki-laki telanjang," ujar Pitra.

Hasan dikenakan Pasal 82 (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal itu mengancamnya dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Hukum berat

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa meminta kepolisian menjerat pelaku dengan hukuman berat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ia berharap hukuman berat dapat memberikan efek jera bagi predator seksual anak tersebut.

Khofifah mengatakan, apa yang dilakukan pelaku berdampak besar terhadap tumbuh kembang korban yang merupakan anak di bawah umur. Menurut dia, bukan hanya korban yang mengalami tekanan psikis, melainkan juga orang tua dan keluarganya.

"Pemprov Jatim melalui Dinas Sosial Jatim akan melakukan pendampingan sosial bagi seluruh korban. Hasil asesmen menjadi dasar penentuan intervensi atau aktivitas lanjutan kepada para korban," ujar Khofifah di Surabaya, Senin (20/1).

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur Sri Adiningsih menegaskan, pihaknya siap mendampingi para korban pencabulan. Sri menyatakan, hingga kemarin pihaknya berkoordinasi dengan LPA Tulungagung. "Kalau area itu bisa nangani ya ditangani. Jadi, mulai pendampingan anak itu sampai persidangan," ujar Sri.

Sri melanjutkan, jika nantinya advokasi level tinggi diperlukan, LPA Jatim siap turun mendampingi para korban. Artinya, jika nantinya ada penolakan dari para korban untuk bersaksi di persidangan, LPA Jatim akan langsung masuk ke ranah tersebut.

"Sering (LPA Jatim beri pendampingan hukum). Kadang kan polda kesulitan ketika si korban gak berani bersaksi atau cerita benar di pengadilan. Perlu pendampingan supaya adik-adik ini berani, gak takut gitu dan keluarganya mau cerita. Itu yang kita diminta untuk membantu untuk menguatkan," ujar Sri.

Sri juga mengingatkan kepada hakim yang nantinya menyidangkan kasus tersebut agar persidangan digelar berdasarkan perspektif anak, yakni sidang digelar secara tertutup. "Jangan hakimnya ini tidak berperspektif anak. Kadang melemparkan kata-kata yang membuat anak trauma," ujar Sri.

Sri mengungkapkan, data pencabulan anak di Tulungagung terbilang tinggi dibanding daerah lainnya di Jatim. Namun, kata dia, tingginya angka tersebut karena masyarakat dan anak yang menjadi korban di Tulungagung lebih terbuka. Artinya, mereka berani melaporkan kejadian ketika ada kasus pelecehan seksual terhadap anak. "Kadang di daerah lain kan lebih tertutup. Setelah banyak korban baru berani melapor," kata Sri. n dadang kurnia, ed: ilham tirta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement