REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan, penyusutan hutan Aceh sejak 2017 hingga 2022 diperkirakan mencapai 35 ribu hektare. Sementara itu, luas hutan Aceh yang mengacu pada surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencapai 3,56 juta hektare lebih.
"Hutan tersebut terdiri konservasi daratan mencapai satu juta hektare lebih, hutan lindung 1,79 juta hektare, hutan produksi terbatas 145 ribu hektare, hutan produksi 551 hektare, dan hutan produksi konversi 15,3 ribu hektare," papar Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur di Banda Aceh, Rabu.
Menurut Nur, ada beberapa faktor menjadi penyebab penyusutan hutan di Aceh tersebut, salah satunya pertambangan, baik tambang yang sudah eksis maupun yang baru mengantongi izin. Pertambangan baru yang mengantongi izin di antaranya berlokasi di Aceh Tengah, dan Beutong, Nagan Raya.
"Kehadiran perusahaan tambang tersebut jelas merusak hutan," kata Nur.
Selain tambang, menurut Nur, pembangunan pembangkit listrik tenaga air di Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, Tampur di Kabupaten Gayo Leues, serta Kluet di Kabupaten Aceh Selatan, juga mengurangi cakupan luas hutan di Aceh. Penyusutan hutan juga terjadi karena perluasan perkebunan, khusus sawit termasuk replanting atau peremajaan tanaman yang agenda pemerintah.
"Pembangunan infrastruktur, seperti jalan di dalam kawasan hutan, juga ikut andil menyusutkan luas hutan di Aceh," kata Nur.
Nur mengatakan, penyusutan hutan tersebut bisa dihambat jika Pemerintah Aceh membatalkan izin pertambangan baru. Di samping itu, pemerintah juga harus melanjutkan moratorium sawit dan moratorium tebang.
Menurut Nur, pemerintah pun perlu membatasi investasi pembangunan pembangkit listrik tenaga air. Sebagai alternatif, pihaknya merekomendasikan pembangkit listrik yang memanfaatkan panas bumi.
"Di Aceh, banyak potensi panas bumi yang bisa menghasilkan sumber energi listrik," kata Nur.