Rabu 15 Jan 2020 13:05 WIB

Garis Polisi di Keraton Agung Sejagat

Kemarin Raja Keraton Agung Sejagat ditangkap polisi.

Sejumlah pengunjung menyaksikan batu prasasti di komplek Keraton Agung Sejagad Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (14/1/2020).
Foto: Antara/Anis Efizudin
Sejumlah pengunjung menyaksikan batu prasasti di komplek Keraton Agung Sejagad Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (14/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Antara, Lilis Sri Handayani

Akses masuk Keraton Agung Sejagat di Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dipasang garis polisi. Kecuali aparat, siapapun dilarang masuk lokasi Keraton Agung Sejagat.

Baca Juga

Garis polisi dipasang di pintu masuk atau gapura utama Keraton Agung Sejagat di sisi utara bagian timur, kemudian di bagian barat dan di depan pintu masuk ruang sidang. Garis polisi juga terlihat dipasang mengelilingi prasasti batu yang berada di sebelah timur calon pendopo utama.

Keterangan dari warga sekitar Keraton Agung Sejagat, garis polisi dipasang pada Selasa (14/1) malam sekitar pukul 21.00 WIB setelah berlangsung penangkapan beberapa orang anggota Keraton Agung Sejagat.

Sejumlah aparat kepolisian, TNI, dan Satpol PP melakukan penjagaan di kompleks Keraton Agung Sejagat. Puluhan warga yang penasaran dengan Keraton Agung Sejagat terlihat silih berganti menyaksikan dari luar garis polisi.

Warga sekitar Keraton Agung Sejagat, Ahmad Riyanto alias Wiji (50) mengatakan garis polisi dipasang setelah ada sekitar lima orang dibawa ke polisi. Ia mengatakan beberapa orang yang semalam ditangkap, pagi ini sudah ada di rumah, yakni Sarwono dan Namono.

Wiji menuturkan dengan adanya prasasti dari batu yang seolah-olah dipuja oleh mereka, membuat warga resah.

Ia menyampaikan lokasi tempat pembangunan Keraton Agung Sejagat adalah lahan milik Chikmawan. Ia adalah mantan Sekdes Desa Pogung Jurutengah yang kini menjabat sebagai penasihat Keraton Agung Sejagat.

Kemunculan Keraton Agung Sejagat di Purworejo Tengah memiliki pola yang sama seperti kelompok yang berusaha membentuk aliran kepercayaan baru. Keraton ini tetapi menggunakan bentuk lain untuk mendapatkan kredibilitas dan menghindari label sesat.

photo
Keraton Agung Sejagat.

"Ini pendekatannya bukan sosiologis administratif tapi supranatural dan spiritual. Jadi dasar dia mengklaim sebagai kerajaan adalah dia mungkin mendapat insight (wawasan) berupa kekuatan supranatural tertentu atau dia mendapat akses dengan katakanlah sumber-sumber supranatural tertentu katakanlah seperti benda atau kitab," ujar sosiolog Rissalwan Habdy Lubis, (14/1).

Sebelumnya seorang pria bernama Totok Santosa Hadiningrat asal Kabupaten Purworejo mendirikan keraton yang diberi nama Keraton Agung Sejagat. Keraton itu banyak dibicarakan setelah menggelar acara Wilujengan dan Kirab Budaya. Dalam kelompok itu Totok diberi gelar Sinuwun dengan istrinya dipanggil Kanjeng Ratu.

Menurut informasi, ada sekitar 450 orang yang menjadi pengikut keraton tersebut, yang mengklaim sebagai kekaisaran dunia dan merupakan penerus dari Majapahit. Pola-pola kelompok itu, menurut Rissalwan, mirip dengan pembentukan sekte dan kelompok agama yang menghebohkan Indonesia beberapa waktu lalu.

Rissalwan menyebut pola pembentukan kelompok itu serupa dengan Lia Eden dan Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar yang membentuk aliran kepercayaan baru. "Saya kira ini bentuknya sama seperti sekte keagamaan hanya wujudnya dia buat lebih kepada formal, ada simbol-simbol berupa negara atau kerajaan," ujar akademi Universitas Indonesia itu.

Alasan membungkusnya dengan bentuk formal, tegas Rissalwan, salah satunya adalah untuk mungkin menghindari label sesat dan dikenai tuduhan penistaan agama. Keraton Agung Sejagat, kata dia, bisa jadi mencampur ritual agama dalam upacara-upacara formal yang ada di keraton yang dia dirikan tersebut.

Unsur budaya bisa dilihat dari budaya Jawa yang berusaha direngkuh oleh pendiri kelompok itu. Sedangkan unsur supranatural bisa dilihat dari ketika mengklaim sebagai pemilik kekuasaan tertinggi di dunia.

Tak hanya memasang garis polisi, Polda Jawa Tengah menahan Raja dan Permaisuri Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Totok Santosa dan Fanni Aminadia. Polisi menjerat Raja dan Permaisuri Keraton Agung dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Penangkapan itu didasarkan atas keresahan masyarakat akibat kehadiran keraton di Desa Pogung Juru tengah, Bayan, Kabupaten Purworejo itu. Santosa dan Aminadia dijerat UU Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana serta pasal 378 KUHP tentang penipuan. Sejumlah barang bukti disita, termasuk dokumen yang diduga dipalsukan pelaku.

Kemunculan Keraton Agung Sejagat mulai dikenal publik setelah mereka mengadakan acara wilujengan dan kirab budaya yang dilaksanakan dari Jumat (10/1) hingga Ahad (12/1). Setelah itu banyak pengunjung penasaran dengan Keraton Agung Sejagat.

photo
Sejumlah pengunjung berada di gapura pintu masuk komplek Keraton Agung Sejagad Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (14/1/2020).

Punggawa Keraton Agung Sejagat  bagian penerima tamu, Puji Widodo, mengatakan berdasarkan daftar pada buku tamu tercatat ada 300-an pengunjung yang datang. "Sebenarnya kalau semua pengunjung mengisi buku tamu mungkin sudah 500-an orang yang datang," ujarnya, sebelum polisi menyegel lokasi Keraton Agung Sejagat.

Ia menuturkan pengunjung mulai ramai pada Senin (13/1). Keberadaan keraton tersebut ditandai dengan bangunan semacam pendopo yang belum selesai pembangunannya. Di sebelah utara pendopo, ada sebuah sendang (kolam) yang keberadaannya sangat disakralkan.

Pada lokasi tersebut juga ada sebuah batu prasasti bertuliskan huruf Jawa. Pada bagian kiri prasasti ada tanda dua telapak kaki. Prasasti ini disebut dengan Prasasti I Bumi Mataram.

"Penasihat" Keraton Agung Sejagat, Resi Joyodiningrat, menegaskan Keraton Agung Sejagat bukan aliran sesat seperti yang dikhawatirkan masyarakat. Ia mengatakan Keraton Agung Sejagat merupakan kerajaan atau kekaisaran dunia yang muncul karena telah berakhir "perjanjian 500 tahun" yang lalu. Yaitu terhitung sejak hilangnya Kemaharajaan Nusantara, yaitu imperium Majapahit pada 1518 sampai 2018.

Menurutnya, "perjanjian 500 tahun" dilakukan Dyah Ranawijaya sebagai penguasa imperium Majapahit dengan Portugis sebagai wakil orang Barat sehingga wilayah itu merupakan bekas koloni Kekaisaran Romawi di Malaka pada 1518.

Jodiningrat menyampaikan dengan berakhirnya "perjanjian" itu, maka berakhir pula dominasi kekuasaan Barat mengendalikan dunia yang didominasi Amerika Serikat setelah Perang Dunia II dan kekuasaan tertinggi harus dikembalikan ke "pemilik"-nya. Yaitu Keraton Agung Sejagat sebagai penerus Medang Majapahit yang merupakan Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra.

Ketua Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN) Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, PRA Arief Natadiningrat, Rabu (15/1), mengatakan tidak pernah mendengar soal Keraton Agung Sejagat. Sultan Sepuh mengatakan, saat persiapan Kemerdekaan Indonesia, jumlah keraton yang tercatat di Indonesia hanya ada sekitar 200 keraton.

Di antara 200 keraton itu, tidak tercatat ada nama Keraton Agung Sejagat di Purworejo. Dia baru mengetahui ada Keraton Agung Sejagat setelah ramai diberitakan oleh media. Selain itu, tambah Sultan Sepuh, Keraton Agung Sejagat pun selama ini tidak pernah terlibat dalam berbagai kegiatan yang digelar FSKN di berbagai daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement