REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda menilai ada kejanggalan dalam dua operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Chairul Huda mengatakan, OTT itu tidak mengacu pada Undang-undang KPK Nomor 19 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
"Dalam UU KPK yang baru, penyadapan harus mendapatkan izin Dewan Pengawas (dewas)," kata Chairul Huda di Jakarta, Selasa (14/1).
Chairul mengatakan jika KPK berdalih penyadapan dilakukan sebelum dewas terbentuk, sedangkan pada sisi lain UU KPK resmi berlaku dan mewajibkan penyadapan harus mendapatkan izin, maka bukti penyadapan yang dikantongi KPK tetap tidak sah.
Ia mengatakan, UU KPK yang baru sejatinya telah merubah prosedur dalam rangka penindakan dan pencegahan kasus korupsi. Menurutnya, KPK berpotensi kalah dalam praperadilan kalau diajukan oleh tersangka. Sebab, lanjut dia, penyadapan, penggeledahan dan penyitaan belum mengantongi izin dewas.
"Artinya seluruh bukti yang diperoleh KPK dari hasil OTT ikut menjadi tidak sah atas nama hukum," ujarnya.
Menurut Chaerul, KPK juga semestinya memproses dugaan perkara korupsi besar yang berpotensi meruginan negara di atas Rp 1 miliar sebagaimana diamantkan UU hasil revisi. Dia mengatakan, pimpinan KPK baru tidak melaksanakan perintah UU kalau masiu nelakukan penindakan korupsi di bawah Rp 1 miliar
"UU KPK baru juga mengorientasikan agar kasus korupsi yang nilainya di bawah Rp 1 miliar bisa dilimpahkan kepada Kejaksaan dan Kepolisian," katanya.
Lebih jauh, Chaerul menanggapi rumor bahwa Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) terkait dua OTT yang dilakukan masih diteken Agus Rahardjo Cs. Dia menilai bahwa Sprindik yang digunakan itu juga berpotensi tidak sah.
Seperti diketahui, KPK telah melakukan dua OTT dalam beberapa waktu terkahir. Pertama terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah. Kedua terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang ikut menyeret politisi PDIP Harun Masiku, yang kini masih buron.