REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Larangan melakukan kunjungan dan mendekati wilayah Gunung Anak Krakatau (GAK) di perairan Selat Sunda masih berlaku, Selasa (14/1). Meski letusan dan gempa tremor sudah mulai menurun, namun masyarakat dan wisatawan dilarang mendekat dalam jarak radius dua kilometer.
“Aktivitas GAK sudah menurun. Gempa tremor masih ada, statusnya masih waspada, masyarakat, nelayan, dan wisatawan tetap berlaku larangan mendekat jarak radius dua kilometer,” kata Andi Suardi, kepala Pos Pemantau GAK di Desa Hargo Pancuran, Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, Selasa (14/1).
Menurut Andi, aktivitas GAK terjadi penurunan sejak aktif pada awal Januari 2020. Statusnya pun belum diturunkan masih tetap level II atau Waspada. Status tersebut berlaku sejak GAK mengalami runtuh pada 22 Desember 2019, yang menyebabkan gelombang tsunami menghantam pesisir selatan Lampung dan Banten.
Ia mengatakan, wisatawan Nusantara dan mancanegara tetap dilarang mendekat apalagi menginjakkan kakinya di GAK dalam rangka penelitian maupun liburan. Kondisi GAK masih dalam status berbahaya, karena material yang dikeluarkan mengandung zat berbahaya bagi manusia.
Tak hanya wisatawan, dia mengemukakan larangan mendekat juga berlaku bagi nelayan setempat seperti nelayan pesisir selatan dan Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan. “Nelayan juga dilarang mencari ikan mendekati Gunung Krakatau,” ujarnya.
Sejak runtuh dan longsornya GAK setahun lalu, yang menimbulkan tsunami menelan korban jiwa ratusan orang dan ribuan warga luka-luka di Lampung dan Banten, ketinggian gunung sebelumnya 338 meter dari permukaan laut (mdpl). Terjadi pengurangan ketinggian 110 mdpl, menjadi 157 mdpl pascalongsor.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana pernah menyebutkan, GAK kehilangan 2/3 ketinggian dan volume kontur tubuhnya atau sekitar 150 hingga 170 juta meterkubik, dan saat itu hanya tersisa 40-70 meterkubik.
Setahun bencana tsunami akibat longsor GAK, jumlah wisatawan lokal dan mancanegara mengalami penurunan drastis pada liburan akhir tahun lalu. Kondisi tersebut dirasakan warga yang bermukim di Pulau Sebesi.
“Biasanya libur akhir tahun banyak wisatawan yang berkunjung ke Pulau Sebesi untu melihat keindahan letusan Gunung Anak Krakatau. Sekarang turun drastis,” kata Arifin (57 tahun), tokoh masyarakat Desa Tejang, Pulau Sebesi, Selasa (14/1).
Menurut dia, seperti setiap liburan akhir tahun, Pulau Sebesi menjadi tumpuan wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk singgah, untuk melihat keindahan GAK baik siang maupun malam hari. Namun, sejak bencana setahun lalu, dan adanya letusan dan gempa GAK lalu membuat wisatawan berkurang.
Warga yang mendiami Pulau Sebesi terbagi satu desa empat dusun tersebut, kehilangan mata pencarian tambahan. Wisatawan lokal atau nusantara berkurang drastis. Biasanya, warga memanfaatkan perahu dan rumahnya sebaga tempat singgah dan menginap wisatawan. “Banyak perahu nelayan yang menganggur karena tidak ada yang berkunjung lag,” ujar Arifin, warga Dusun Regahan Lada III.
Selain melihat keindahan GAK pada siang dan malam hari, wisatawan juga biasanya melepas kepenatan dan mencari hiburan dengan bersantai dan berenang di Pulau Umang Umang, seberang Pulau Sebesi. Sejak bencana tsunami terjadi, pengunjung Pulau Umang Umang juga mengalami penurunan. “Perahu-perahu nelayan Pulau Sebesi sering disewa untuk menyeberang ke Pulau Umang Umang, tapi tahun ini sepi,” tutur dia.
Sepinya pengunjung Pulau Sebesi dan Pulau Sebuku untuk berlibur melihat GAK dan menikmati keindahan Pulau Umang Umang, terpantau dari lalu lintas di Dermaga Canti, Rajabasa, Lampung Selatan. Wisatawan nusantara bisa dihitung dengan jari yang berlibur ke Pulau Sebesi.
Aktivitas penyeberangan kapal motor penumpang dan kendaraan hanya diisi penumpang lokal Pulau Sebesi dan warga pesisir selatan saja. Sedangkan warga dari luar kota sudah jarang. Biasanya, warga yang memiliki kapal motor penumpang mendapat sewaan dari pengunjung untuk menyeberang, tetapi liburan akhir tahun 2019 tidak ada sama sekali.