REPUBLIKA.CO.ID, Nelayan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menyatakan tak takut lagi melaut setelah sebelumnya sempat terjadi konflik antara Indonesia dan China di perairan Natuna. Aktivitas nelayan di Natuna kini ikut diawasi dan dikawal oleh Bakamla dan Kapal Pengawas Perikanan.
"Sekarang nelayan tak perlu takut lagi melaut, karena ada Bakamla dan Kapal Pengawas Perikanan yang menjaga perairan Natuna," ujar Ketua Koperasi Nelayan Karang Labak, Pulau Tiga, Dedek Ardiansyah, Selasa (14/1).
Dedek mengatakan, sejak 4 Januari 2020, para nelayan tempatan sudah mulai aktif turun melaut. Para nelayan biasanya melaut sampai 110 hingga 120 mil atau masih berada di bawah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).
Dedek mengaku nelayan tak bisa menangkap ikan hingga ke ZEE, karena keterbatasan armada dan peralatan tangkap.
"Nelayan hanya bisa melaut sampai perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Itu pun sudah cukup," tuturnya.
Dedek mengklaim, Nelayan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna memperoleh 20 ton ikan segar dari hasil melaut selama 14 hari kerja. Dedek menyampaikan 20 ton ikan segar yang dikirim hari ini berupa ikan Kerisi Bali, Kakap Merah, Jahan, Kerisi, dan Kerapu.
Ikan-ikan tersebut dijual ke Tanjung Balai Karimun, Kepri menggunakan kapal angkut KM. Maharani.
"Hasil tangkapan itu diperoleh 38 kapal nelayan lokal berkapasitas 10 sampai 30 GT. Tiap-tiap kapal terdiri dari tujuh ABK," kata Dedek.
Ikan-ikan tersebut sudah melalui pemeriksaan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Domestik di Natuna.
"Total nilai pengiriman kita hari ini senilai Rp592 juta," ungkap Dedek.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyatakan, nelayan memerlukan jaminan keselamatan untuk melaut di kawasan perairan Natuna. Sehingga, hal tersebut perlu direncanakan matang oleh berbagai pihak terkait.
"Di Kabupaten Natuna, nelayan memerlukan jaminan keamanan dan keselamatan selama melaut," kata Abdul Halim, Selasa.
Untuk itu, ujar dia, sebaiknya dapat segera disusun Rencana Pengelolaan Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan-Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 711 yang mencakup Natuna. Sembari menunggu kesiapan dokumen tersebut, lanjutnya, maka pemerintah dinilai perlu memprioritaskan nelayan lokal untuk memanfaatkan sumber daya ikan di perairan nasional tersebut.
Di samping itu, Abdul Halim juga mengingatkan, bahwa nelayan perlu untuk dihubungkan usaha perikanannya secara terintegrasi dan komprehensif atau menyeluruh yaitu dari aspek hulu ke hilir.
[video] Coast Guard China Telah Keluar dari Wilayah Natuna
Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rosman Djohan, memastikan perairan Natuna aman bagi nelayan melaut. Erzaldi mengatakan, konflik perairan antara Indonesia dan China yang sempat memanas beberapa waktu lalu, membuat ketakutan nelayan dan para orang siswa SMKN 4 Pelayaran Kota Pangkalpinang yang tidak ingin anaknya ditugaskan di Natuna.
"Saya pastikan Natuna aman, karena negara kita kuat dan jangan pernah takut sama nelayan dari negara lain," kata Erzaldi Rosman Djohan usai meresmikan kapal latih SMKN 4 Pelayaran Pangkalpinang, Selasa.
Ia menyakini para siswa yang diterima bekerja dan ditugaskan di Natuna dalam kondisi aman, baik dan bisa mengimplementasikan pelajaran yang diperoleh di sekolah ini. Saat ini ada beberapa orang siswa SMKN 4 Pelayaran Pangkalpinang sedang melakukan tes untuk bekerja di kapal perusahaan Argentina.
"Kami berharap masyarakat khususnya nelayan tidak takut berlayar dan mencari ikan di perairan Natuna, karena perairan tersebut aman," katanya.
Pengamat perikanan Moh Abdi Suhufan menginginkan kebijakan pemerintah dapat lebih memprioritaskan nelayan lokal dibandingkan dengan nelayan dari daerah lainnya. Tujuannya, dalam rangka memberdayakan potensi sumber daya alam di kawasan perairan Natuna.
"Prioritaskan nelayan lokal dengan tingkatkan kapasitas mereka dan berikan pendampingan," kata Abdi Suhufan, Selasa.
Menurut dia, untuk peningkatan kapasitas seperti penambahan kapal penangkap ikan dari luar daerah Natuna memerlukan persiapan dan perencanaan yang matang. Belum lagi, lanjutnya, perlu pula pengawasan yang baik sebab dengan karakteristik perairan kepulauan seperti Natuna berpotensi terjadi pelanggaran zonasi tangkap oleh kapal besar.
"Jadi memang kekhawatiran nelayan Natuna beralasan, kalau kapal besar terlalu banyak nanti terjadi konflik zonasi tangkap. Di Anambas beberapa tahun selalu sudah terjadi dan nelayan di sana akhirnya melakukan protes," katanya.
Abdi yang juga menjabat sebagai Ketua Harian Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) itu berpendapat, bila pemerintah mau menambah kapal ukuran besar misalnya dengan alat tangkap purseine, maka perlu ada pelatihan kepada kelompok nelayan Natuna. Sebab, mereka belum familiar dengan alat tangkap tersebut dan juga pendampingan usaha perikanan tangkap terutama dalam berkoperasi.
Kapal China di Natuna