Selasa 14 Jan 2020 09:16 WIB

Suap Komisioner KPU dan Dugaan Framing ke Hasto Kristiyanto

PDIP mengkhawatirkan ada politisasi di OTT komisioner KPU.

Penyidik KPK membawa koper usai melakukan penggeledahan di Jakarta, Senin (13/1). KPK menggeledah ruang kerja Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan selama delapan jam terkait kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji penetapan anggota DPR Terpilih Periode 2019-2024.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Penyidik KPK membawa koper usai melakukan penggeledahan di Jakarta, Senin (13/1). KPK menggeledah ruang kerja Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan selama delapan jam terkait kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji penetapan anggota DPR Terpilih Periode 2019-2024.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Dian Fath, Fauziah Mursid

Kasus suap ke mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan, oleh caleg PDIP Harun Masiku, menyeret nama Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Pasalnya, dalam daftar orang yang ditangkap dalam kasus ini terdapat nama-nama yang disebut sebagai staf Hasto.

Baca Juga

Sorotan pun mengarah ke Hasto. Publik bertanya mengapa Hasto hingga kini belum dimintai keterangan oleh KPK.

Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat mengklaim adanya framing yang ditujukan ke Hasto Kristiyanto. Djarot menilai, apa yang dilakukan KPK saat mendatangi kantor DPP PDIP adalah sebuah framing yang ditujukan ke Hasto Kristiyanto.

Ia pun mengaitkan kasus tersebut dengan rapat kerja nasional (rakernas) yang digelar PDIP saat kasus tersebut mencuat.

"Karena yang berkaitan selalu ini kan, framing untuk selalu ditujukan pada Pak Hassto yah. Framing betul, dan selalu setiap acara besar partai selalu ada framing begitu. Mulai ada kongres, rakernas, ada apa, maka ada yang katakan bahwa ini bentuk politisasi hukum," kata Djarot di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Senin (13/1).

Djarot menuding, penyelidik KPK yang mendatangi Kantor DPP PDIP saat PDIP hendak rakernas tak dibekali surat pemberitahuan. Djarot pun mempertanyakan sikap KPK tersebut dan menduga ada politisasi hukum yang ditujukan untuk sekjen partainya.

"Makanya kita pertanyakan, pada saat, bayangkan besok kita melakukan rakernas paginya mereka datang, tanpa ada ekspos dan kemudian tanpa dibekali surat pemberitahuan padahal kita semua lagi persiapan untuk rakernas," ujar dia.

"Nah ini kenapa, ada apa. Kemudian itu juga belum diekspos, kita juga nggak ngerti itu kan, nah hal-hal seperti ini berarti kan memang ada dugaan-dugaan yang mengarah untuk mem-framing, dalam hal ini sekjen untuk mem-framing," kata Djarot.

Untuk diketahui, penyidik KPK sempat mendatangi Kantor DPP PDIP pada saat Wahyu Setiawan terjaring OTT. Namun KPK tak melakukan penggeledahan.

Sebagian pihak menilai, KPK 'gagal' melakukan penggeledahan. Namun, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengklaim, KPK hanya akan memasang garis KPK, belum akan menggeledah.

Pascapenggeledahan kantor mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan, kemarin, KPK belum juga memutuskan kapan akan menggeledah kantor DPP PDIP. "Mengenai tempat berikutnya yang akan digeledah, tentu kami belum bisa menyampaikan tempat mana yang akan dilakukan upaya paksa penggeledahan," kata Plt Jubir KPK Bidang Penindakan Ali Fikri, di Gedung KPK Jakarta, Senin (13/1) malam.

Karena, penggeledahan bukan upaya paksa pro justicia di tingkat penyidikan. "Nanti kami infokan lebih lanjut pada rekan semua kegiatan apa selanjutnya dari tim penyidik setelah penggeledahan dua tempat," ucapnya.

Tim penyidik menyita sejumlah dokumen di kantor KPU RI dan rumah dinas mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan. Penggeledahan di Kantor KPU Pusat dilakukan KPK untuk mencari bukti tambahan terkait kasus dugaan suap pemulusan proses Pergantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPR.

"Dilakukan penggeledahan di dua tempat yaitu ruang kerja WSE dan rumah dinasnya. Tim mendapatkan dokumen penting terkait rangkaian perbuatan para tersangka yang akan dikonfirmasi lebih lanjut pada saksi yang akan dihadirkan penyidik," ucap Ali.

Ali pun memastikan penyidik memiliki strategi sendiri meskipun ada jarak waktu yang lama antara penggeledahan dan penetapan tersangka. "Penyidik KPK tentu punya strategi. Kami punya target apa yang harus didapatkan di proses penyidikan. Selain kemarin di Gedung DPP PDIP yang tidak jadi, kita tunggu perkembangan apa lagi yang akan digeledah," terang Ali.

photo
Penyidik KPK bersiap melakukan penggeledahan di Jakarta, Senin (13/1). KPK menggeledah ruang kerja Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan selama delapan jam terkait kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji penetapan anggota DPR Terpilih Periode 2019-2024.

Dampak Perubahan UU

Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Dr Oce Madril menilai dampak Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang baru disahkan beberapa lalu telah terasa dampaknya dalam penegakan hukum. Oce mengatakan, dampaknya adalah lambatnya KPK dalam melakukan penegakkan hukum.

Itu kata Oce, terjadi dalam kasus operasi tangkap tangan yang melibatkan mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan dan politikus PDI Perjuangan, Harun Masiku. Penyelidik KPK, hingga saat ini tak bisa melakukan penggeledahan di Kantor PDIP karena tidak mendapatkan izin.

"Ya itu kan dampak kongkret, contoh kongkret ya betapa UU KPK itu memang akan memperlambat penegakan hukum," ujar Oce saat dihubungi wartawan, Senin (13/1).

Oce meyakini, dampak UU KPK yang memperlambat penegakan hukum tidak hanya ada pada saat proses penggeledahan. Tetapi juga pada proses penyitaan dan penyadapan. Hal ini kata dia, sebagaimana kekhawatiran banyak pihak atas UU KPK tersebut.

Saat ini, kata Oce, mengacu UU KPK yang baru, KPK membutuhkan proses panjang untuk penegakan hukum kasus korupsi. Khususnya berkaitan dengan penyadapan, penyitaan, dan juga penggeledahan.

"Makin berbelit, harus ada izin, harus ada administrasinya, padahal sebetulnya untuk kasus-kasus yang tertangkap tangan itu dibutuhkan tindakan cepat. Dan bahkan, dibutuhkan penyitaan cepat dan penggeledahan cepat, penangkapan cepat, dan itu harus cepat semuanya. Kan tersangkanya tidak boleh lepas juga," kata dia.

Akhirnya, kata Oce, kekhawatiran pun bisa terjadi. Menurutnya, kasus-kasus yang semestinya bisa ditangani KPK lebih cepat, justru lambat yang berpotensi membuat kasus gagal terungkap.

"Dan risikonya ada ya kemungkinan penggeledahan tidak bisa dilakukan, penyitaan tidak bisa dilakukan, barang bukti hilang. Kasusnya mafia korupsinya juga bisa hilang," kata Oce.

"Jadi kalau dampaknya begitu, bisa dikatakan UU yang baru bisa menyebabkan kasus kasus korupsi yang berskala besar yang tingkat risiko tinggi bisa tidak tersentuh karena persoalan yang berbelit ini," ujar Oce.

photo
Penyidik KPK memasukan koper ke dalam mobil usai melakukan penggeledahan di Jakarta, Senin (13/1). KPK menggeledah ruang kerja Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan selama delapan jam terkait kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji penetapan anggota DPR Terpilih Periode 2019-2024.

Bantah Kecolongan

KPK juga membantah kecolongan dengan kaburnya Harun Masiku ke Singapura. Diketahui, tersangka perkara dugaan suap pengurusan Pergantian Antar Waktu (PAW) itu masih buron dan telah meninggalkan Indonesia dengan menggunakan pesawat dari Bandara Soekarno-Hatta sejak Senin (6/1) pekan lalu atau dua hari sebelum tangkap tangan dilakukan.

"Kami tidak melihatnya dari sisi itu (kecolongan)," kata Plt Jubir KPK Bidang Penindakan, Ali Fikri.

Ali menegaskan dalam operasi senyap, KPK tidak hanya mengandalkan penyadapan. Terdapat sejumlah kegiatan  dan strategi lain yang dilakukan tim KPK.

"Tentu ada pertimbangan-pertimbangan strategis dari penyidik bagaimana kemudian bisa menyikapi adanya hal-hal itu. Kami sudah mengantisipasinya," tegasnya.

Namun, Ali tak memungkiri, pihaknya  baru mengetahui keberadan Harun di Singapura dari pernyataan Ditjen Imigrasi pada Senin (13/1) kemarin. KPK berkoordinasi lebih lanjut dengan Ditjen Imigrasi mengenai informasi tersebut.

"Kami tahu dari Humas (Ditjen) Imigrasi telah menyampaikan bahwa keberadaan dari tersangka Harun Masiku tidak berada di Indonesia. Tentunya dari kemarin kami sudah koordinasi dengan Imigrasi dan aparat penegak hukum lain. Dan kami mendapat informasinya dari Humas Imigrasi," tuturnya.

"Tentu nanti kami akan berkoordinasi lebih lanjut atas informasi yang telah disampaikan, selanjutnya kami akan memastikan terlebih dahulu keberadaan yang bersangkutan," tambahnya.

KPK juga akan menjalin kerja sama dengan kepolisian maupun Kementerian Luar Negeri untuk menangkap Harun dan membawanya kembali ke Indonesia. "Tentu kami akan bekerja sama dengan lembaga yang ada di luar negeri, Kementerian Luar Negeri dan melakukan penangkapan, untuk yang bersangkutan dibawa ke KPK," ucap Ali.

Ditjen Imigrasi membenarkan KPK telah berkoordinasi terkait keberadaan Harun Masiku. "KPK sudah berkoordinasi dengan kami," kata Kasubag Humas Ditjen Imigrasi, Ahmad Nursaleh saat dikonfirmasi.

Kabag Humas Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang mengungkapkan Harun sudah berada di luar negeri sejak awal Januari. "Tercatat tanggal 6 Januari keluar Indonesia menuju Singapura," ujar Arvin.

Lantaran sudah berada di luar negeri, pihak Imigrasi saat belum mengeluarkan surat pencekalan untuk Harun. Namun, kata Arvin, KPK sudah berkoordinasi dengan Ditjen Imigrasi terkait pencarian terhadap Harun.

KPK menduga Wahyu bersama mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina menerima suap dari Harun dan Saeful. Suap dengan total sebesar Rp 900 juta itu diduga diberikan kepada Wahyu agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR RI menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement