Senin 13 Jan 2020 22:43 WIB

Saran Pakar Jepang Buat Indonesia Jika Ingin Hadapi China

Pakar Jepang menyebut China terlalu kuat jika dikonfrontasi sendiri.

Kapal Coast Guard China-5302 memotong haluan KRI Usman Harun-359 pada jarak 60 yards (sekitar 55 meter) saat melaksanakan patroli mendekati kapal nelayan pukat China yang melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu (11/1/2020).
Foto: M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO
Kapal Coast Guard China-5302 memotong haluan KRI Usman Harun-359 pada jarak 60 yards (sekitar 55 meter) saat melaksanakan patroli mendekati kapal nelayan pukat China yang melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu (11/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar geopolitik asal Jepang Kunihiko Miyake dalam acara diskusi di Jakarta, Senin, berpendapat Indonesia dapat membangun upaya kolektif bersama negara-negara di kawasan untuk menghadapi dominasi China. Hal itu terkait tumpang tindih klaim kepemilikan di sejumlah wilayah perairan strategis, termasuk di antaranya di Natuna.

"Kita tidak seharusnya mengonfrontasi China sendiri-sendiri karena China negara yang terlampau kuat. Negara yang dia anggap seimbang, menurut saya, sejauh ini hanya Amerika Serikat," kata Miyake dalam acara diskusi yang diadakan Universitas Indonesia.

Baca Juga

Menurut mantan diplomat Jepang yang saat ini menjadi pengajar tamu (visiting professor) di Ritsumeikan University itu, perselisihan dengan China sebaiknya tidak diselesaikan dengan sikap rivalitas.

"Konfrontasi adalah hal terakhir yang kita inginkan. Yang dapat dilakukan saat ini adalah adanya upaya kolektif (collective effort) untuk mengimbangi dominasi China," tambah dia.

Ia menjelaskan upaya kolektif itu dapat dilakukan melalui kerja sama Indo-Pasifik. Dalam kerja sama itu, Indonesia merupakan salah satu negara yang berperan aktif dengan menjadi pengusul serta perancang Tinjauan ASEAN untuk Indo-Pasifik pada tahun lalu.

"Upaya kolektif itu dibuat demi mengingatkan bahwa dominasi dan hegemoni terhadap satu kawasan perairan tertentu bukan tujuan yang dikehendaki bersama," terang Miyake.

Pemerintah China mengklaim secara sepihak sebagian besar kawasan Laut China Selatan. Namun, Indonesia bukan bagian dari pihak yang bersengketa dengan China untuk wilayah Laut China Selatan. Pihak yang bersengketa, antara lain Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan Taiwan.

Namun, Indonesia dan China sempat terlibat silang pendapat setelah 50 perahu nelayan China beserta kapal penjaganya (coast guard) memasuki Laut Natuna yang dianggap sebagai wilayah perairan tradisionalnya (Nine Dash Line) pada medio Desember 2019.

Saat insiden terjadi, Badan Keamanan Laut (Bakamla) Indonesia bersama kapal Tentara Nasional Indonesia berupaya mengusir perahu China itu, tetapi mereka sempat bertahan.

Beberapa hari pasca kejadian, Indonesia melayangkan nota protes terhadap Pemerintah China. Menurut pihak Beijing, ada tumpang tindih otoritas di perairan Natuna.

Namun, Kementerian Luar Negeri RI menegaskan tidak ada overlapping yurisdiction di perairan Natuna, karena kawasan itu merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sebagaimana diatur Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Pernyataan itu disampaikan secara tertulis oleh Kemlu RI pada 30 Desember 2019 menanggapi insiden pelanggaran perbatasan perahu nelayan China.

Walaupun demikian, di tengah silang pendapat itu, TNI memastikan kapal dan perahu China telah ke luar dari wilayah Indonesia di Natuna. Pernyataan itu disampaikan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I Laksda TNI Yudo Margono usai memantau hasil patroli udara di Natuna, Kepulauan Riau, Minggu (12/1)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement