REPUBLIKA.CO.ID, PALANGKA RAYA -- Cuaca ekstrem menurunkan produksi ikan tangkapdi Provinsi Kalimantan Tengah akibat para nelayan mengurangi bahkan menghentikan aktivitasnya untuk sementara waktu.
"Penurunan produksi akibat cuaca ekstrem pada 2-9 Januari 2020 mencapai sekitar 40 persen jika dibandingkan kondisi normal," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalteng Darliansjah di Palangka Raya, Kalteng, Ahad (12/1).
Menurut dia, memasuki Januari,curah hujan meninggi dan angin kencang, sehingga berpengaruh terhadap aktivitas nelayan.
Saat kondisi cuaca ekstrem, kata dia, nelayan dengan kapal yang bobotkotor (GT) kecil tidak berani melaut atau mencari ikan seperti biasanya.
Sememtara kapal yang GT-nya besar, hanya sebagian saja yang berani melaut.
"Pada saat cuaca ekstrem, memang terjadi penurunan produksi tangkapan ikan. Hanya saja jika melihat dari total tahun hasilnya tetap meningkat, yakni perbandingan antara tahun 2018 dengan 2019," ucapnya.
Kondisi itu pada akhirnya membuat ikan tangkapan atau nonbudidaya, menjadi salah satu komoditas yang masuk dalam prospek inflasi ke depan yang dirilis Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Kalteng.
Adapun dalam rilis TPID, kondisi terkini dan rencana aksi dari DKP Kalteng, yaitu ikan tangkapan misalnya jenis gabus, agak sulit dikendalikan karena tidak bisa dibudidayakan dan produksinya bergantung pada tangkapan nelayan.
"Pada kolam bioflok memiliki persediaan ikan nila sekitar 200 kilogram, ikan lele sekitar 200 kilogram dan ikan patin sekitar 700 kilogram," ungkapnya.
Lebih lanjut Darli menuturkan, bekerja sama dengan pihak lainnya DKP Kalteng berupaya meningkatkan budi daya kolam penyangga.
Upaya itu sebagai salah satu cara membantu masyarakat yang keberatan dengan kenaikan harga ikan di pasaran akibat berkurangnya produksi ikan.
Berkurangnya aktivitas nelayan tentu memengaruhi kondisi perekonomian mereka, hanya saja dari evaluasi, umumnya nelayan juga memiliki pekerjaan lainnya selain melaut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.