REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dedy Darmawan Nasution, Febrianto Adi Saputro, Fauzian Mursid
Pemerintah berkeinginan memindahkan nelayan di wilayah Pantai Utara (Pantura) ke perairan Laut Natuna Utara untuk meramaikan aktivitas laut di Natuna, Kepulauan Riau. Langkah itu dinilai tepat karena lebih dari 90 persen kegiatan nelayan hanya memadati wilayah pesisir.
Pakar Kelautan Institut Pertanian Bogor sekaligus Ketua Dewan Pakar Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Alan Koropitan mengatakan, Natuna saat ini sudah sangat siap dari segi infrastruktur untuk menerima hasil tangkapan ikan yang lebih banyak.
Pemerintah juga telah membangun Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di Natuna dengan biaya yang besar. Namun, SKPT itu belum dimanfaatkan secara optimal lantaran aktivitas laut di Natuna yang masih minim akibat keterbatasan nelayan tradisional untuk berlayar ke Zona Ekonomi Eksklusif.
"Ide memindahkan ini sangat bagus. Nelayan skala kecil sudah padat di pesisir. Harus ada kapal-kapal besar yang pergi ke Natuna menangkap ikan," kata Alan di Jakarta, Kamis (9/1).
Alan menuturkan, menurut keterangan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, terdapat kekosongan kuota kapal sekitar 540 unit di ZEE WPP-RI 711 Natuna. Dibutuhkan kapal dengan ukuran 100 gross ton (GT) yang melakukan aktivitas di kawasan Natuna untuk bisa berlayar hingga ke wilayah lepas pantai.
Ia menduga kapal-kapal yang akan diberangkatkan ke Natuna merupakan kapal-kapal dengan alat tangkap cantrang. Namun, cantrang yang belum dimodifikasi sehingga tidak merusak lingkungan seperti cantrang yang dilarang oleh pemerintah.
Oleh sebab itu Kementerian Kelautan dan Perikanan harus segera membuat regulasi turunan yang mengatur detail tentang penggunaan alat tangkap cantrang. Sejauh ini regulasi yang ada baru sebatas melarang penggunaannya. Aturan tertera dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan API Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Regulasi itu dinilai sebatas melarang tanpa memberikan solusi bagi para nelayan. Menurut Alan, sebaiknya alat tangkap cantrang dilarang khusus untuk di wilayah pesisir dan diperbolehkan untuk wilayah lepas pantai Zona Ekonomi Eksklusif. Dengan catatan, alat cantrang yang tidak dimodifikasi dan merusak lingkungan.
"Semua alat tangkap apapun itu kalau tidak diatur pasti akan merusak. Jadi harus diatur. Di mana boleh di mana tidak. Jangan hanya melarang. Harus diatur spesifik. Ini menjadi tantangan Menteri KKP yang baru," kata Alan.
Mengutip laporan KKP Tahun 2018, pada tahun 2016 total armada penangkapan ikan seluruh Indonesia sebanyak 543.845 unit. Namun, 96 persen merupakan kapal berkapasitas 5-10 GT. Hal itu membuat mayoritas nelayan di Indonesia hanya memadati wilayah pesisir di bawah 12 mil dari garis pantai. Atas dasar itu perlu ada perluasan wilayah tangkapan dari nelayan di Indonesia.
"Bayangkan penangkap ikan laut kita ngumpul di pesisir. Jadi sedikit-sedikit konflik berebut. Makanya harus ada yang dipindahkan ke Natuna," kata dia.
Alan menegaskan, setiap negara punya hak berdaulat di wilayah perairan ZEE. Karenanya perlu didukung dengan kebijakan pemerintah yang memfasilitasi aktivitas laut di lepas pantai. Ia meyakini jika manajemen kelautan dan perikanan bisa berjalan baik, kegiatan penangkapan ikan dipastikan tidak akan merusak lingkungan.
Di sisi lain, para pelaku usaha perikanan maupun nelayan harus patuh terhadap manajemen pengelolaan perikanan level nasional. Semua pihak juga harus mematuhi manejemn tingkat internasional yang diatur dalam Regional Fisheries Management Organisations (RFMOs). "Kuncinya harus ada yang mengatur, jangan hanya melarang tanpa solusi. Boleh dong kita berdaulat di laut kita," katanya.
Nelayan Anggota KNTI Pulau Pari, Sulaiman menambahkan, pemindahan nelayan ke Pulau Natuna bisa menjadi solusi yang baik. Sebab di wilayah perairan utara Pulau Jawa mulai terjadi over fishing. Itu disebabkan oleh semakin banyaknya nelayan tradisional yang berkumpul dalam satu wilayah pesisir.
Menurut dia, minimal 30 hingga 40 persen nelayan di Pantura bisa dipindahkan. dengan bantuan dari pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan. Sulaiman mengaku, kerap kali bantuan alat tangkap maupun perlengkapan lain yang diberikan oleh pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan. Itu sebabnya, dampak positif berbagai bantuan pemerintah yang menelan anggaran besar tidak begitu terlihat.
Wakil Presiden KH Maruf Amin mengatakan pengiriman ratusan kapal nelayan ke perairan Natuna, bukan bentuk provokasi untuk menghadapi kapal China yang telah memasuki wilayah Zona ZEE. Kiai Maruf mengatakan, pengiriman nelayan-nelayan sebagai upaya penegasan kepada China bahwa wilayah tersebut bagian kedaulatan Indonesia.
Kiai Maruf juga menegaskan, bahwa pengiriman kapal nelayan juga disertai pengawalan aparat keamanan dari TNI/Polri. "Sekarang kita sudah lakukan pengawalan baik di laut maupun udara, bukan karena kita memprovokasi tapi kita menganggap itu penting, karena itu wilayah kita," ujarnya di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (8/1).
Kiai Maruf mengatakan, Pemerintah juga mempersiapkan program untuk membekali nelayan-nelayan yang mencari ikan di Natuna. Sebab, Wapres mengakui perlu fasilitas penunjang bagi nelayan yang mencari ikan di perairan laut dalam dan jauh.
"Intinya menjadi program pemerintah, termasuk juga ada dua upaya untuk ambil ikan ini, ada ikan yang budidaya, ada yang ikan tangkap. Yang ikan tangkap ini butuh armada besar, kapal yang besar, mungkin Pak Jokowi juga ke sana untuk persiapkan itu semua," jelas Kiai Maruf.
"Kita siapkan armada ikan tangkap yang cukup mampu untuk mengarungi wilayah Natuna itu dan tentu juga dengan pengawalan," ucapnya.
Presiden Joko Widodo saat melakukan kunjungan kerja ke Natuna, Kepulauan Riau, Rabu (8/1).
Menutup Ruang
Pemerintah Indonesia diminta untuk tidak membuka ruang negosiasi soal wilayah perairan nasional di Kepulauan Natuna. Sedikit negosiasi terbuka, maka Indonesia akan terancam oleh China yang saat ini memiliki kekuatan ekonomi dan politik.
Ketua Harian KNTI, Dani Setiawan mewanti pemerintah untuk tidak bergeser dari kesepakatan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 yang mengikat China dan Indonesia. "Sedikit saja negosiasi bergeser. Maka kecil peluang kita untuk bisa keluar dari ancaman China di laut teritorial nasional," kata Dani.
Ia mengatakan, tindakan kapal ikan dan kapal penjaga pantai China yang melakukan aktivitas penangkapan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia merupakan ancaman nyata. China saat ini jauh berbeda dengan era 1980-an dan telah memiliki kekuatan ekonomi dan politik di dunia.
"Itu yang harus dipahami pemerintah bahwa kita menghadapi posisi yang sedang kuat-kuatnya," tegasnya.
KNTI menilai bahwa tindakan Cina ke Natuna bukan semata-mata atas klaim hak tradisional yang dianggap sebagai wilayah teritorial Cina. Ada kecenderungan aspek ekonomi politik yang dipegang Cina agar ingin menguasai sumber daya alam yang terdapat di Natuna.
Tanpa ada sikap tegas, legitimasi China atas wilayah Natuna bisa terus menguat dan mempengaruhi eskalasi poltiik di wilayah tersebut. Jika pemerintah tidak memiliki ketegasan, peristiwa tersebut akan terus berulang dan China akan selalu mengklaim laut Natuna sebagai wilayahnya.
"Jangan ada materi negosiasi apapun. Ini sangat penting dan strategis bagi Indonesia dan juga negara Asean lainnya," katanya.
Pada Rabu (8/1) kemarin, Presiden Joko Widodo mendatangi Kepulauan Natuna dan membagikan sertifikat tanah kepada para nelayan untuk membuktikan bahwa Natuna merupakan Tanah Air Indonesia.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengungkapkan, salah satu tujuan kunjungan Presiden Jokowi ke Natuna untuk menegaskan kedaulatan RI yang tak boleh diganggu. Menurut dia, Presiden memberikan perhatian seriusnya terhadap masalah yang terjadi di Laut Natuna ini.
“Ini memberikan sinyal bahwa pemerintah Indonesia, terutama bapak Presiden, dalam persoalan Natuna ini benar-benar memberikan atensi serius,” jelasnya.
Pramono menyebut, kunjungan Presiden ke Natuna ini bukan yang pertama kalinya. Jokowi sebelumnya juga beberapa kali pernah mengunjungi Natuna untuk masalah serupa. Bahkan saat itu, Presiden mengunjungi Natuna dengan menggunakan kapal perang dan juga menggelar rapat terbatas di atas kapal.
“Dan ini menunjukkan bahwa kedaulatan RI itu tidak boleh diganggu, dan tidak boleh ditawar-menawar, dan itu adalah hal prinsip,” kata dia.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjend Sisriadi menyebut bahwa kapal-kapal China yang sempat melakukan illegal fishing maupun kapal coast guard China di perairan Natuna Utara sudah meninggalkan ZEE Indonesia setelah dikunjungi oleh Presiden Joko Widodo kemarin. Sisriadi menyebut kunjungan Presiden ke Natuna merupakan pesan tegas dari pemerintah Indonesia ke China.
"Saya kira itu dibaca dengan cermat oleh Beijing dan kapal-kapal nelayan yang didukung oleh kapal coast guard mereka yang dalam hal ini kapal pemerintah, sudah meninggalkan wilayah ZEE," kata Sisriadi di Markas Besar TNI, CIlangkap, Jakarta, Kamis (9/1).
Kendati demikian, TNI tetap akan mengintensifkan penjagaan di kawasan perairan Natuna Utara dengan menggelar operasi rutin. Untuk intensitasnya, lanjut Sisriadi, TNI akan melihat perkembangan taktis di lapangan.
"Artinya perkembangan taktis gitu ya, kalau memang sudah benar-benar clear nanti fokus secara keseluruhan," ujarnya.
Dalam operasi tersebut, TNI mengerahkan delapan KRI dan satu hingga dua flight. Satu flight terdiri dari empat pesawat udara. Belum diketahui sampai kapan operasi rutin tersebut dilakukan.
Ia menegaskan bahwa TNI tetap akan mengawal upaya diplomasi yang dilakukan pemerintah. Sembari mengusir China sesuai dengan prosedur yang berlaku.
"Kita tidak akan melepaskan satu butir peluru pun, karena begitu kita lepaskan satu butir peluru. Justru kita yang melanggar hukum internasional," tuturnya.
Infografis Kapal China di Natuna.