REPUBLIKA.CO.ID, oleh Umar Mukhtar
Nana Suryana (18 tahun) masih tertidur pulas di rumahnya pada sekitar pukul 6 pagi, Rabu (1/1) lalu. Dia hanya seorang diri di rumah yang berlokasi di RT 3 RW 4 Kampung Sajira Barat Desa/ Kecamatam Sajira, Lebak, Banten itu. Sang Ibu dan beberapa saudaranya sedang di luar rumah, belum pulang setelah merayakan tahun baru di Tangerang pada Rabu (1/1) dini hari.
Tiba-tiba Surya dibangunkan oleh neneknya yang tinggal bertetanggaan. Dia diberitahu bahwa teras depan rumah yang berada persis di sisi Sungai Ciberang itu kebanjiran. Sontak ia langsung bangun, dan tak pikir panjang, beberapa barang pun diamankan.
"Waktu itu hujan deras sekali, dari malam tahum baru kan sudah hujan itu sampai pagi. Tapi banjirnya (yang di depan rumah) sempat surut dulu," ujar dia bercerita kepada Republika.co.id di halaman rumahnya, Rabu (8/1).
Surya melanjutkan, saat tinggi banjir di halaman rumahnya surut, dia pun mulai bersih-bersih dengan mengepel lantai. Pada sekitar pukul 07.30 WIB pagi, lantai rumahnya pun telah bersih. Namun, keadaan berbalik pada sekitar pukul 09.00 WIB pagi.
"Ada kedengaran seperti ombak. (Saya) langsung lari ke atas. Di atas itu ya saya lihatin aja banjir bandangnya. Jebol itu tembok dapur belakang. (Tinggi banjirnya) sampai setinggi langit-langit ini (rumah)," ucap dia. Setelah itu, banjir bandang baru mulai surut pada sekitar pukul 11.00 WIB.
Sedangkan ibu Surya, Nurjannah (40 tahun), bersama beberapa anggota keluarga yang lain sebetulnya telah tiba di seberang Sungai Ciberang pada Rabu (1/1) pagi. Namun kendaraan roda empat yang dinaiki harus terhenti karena jembatan penyeberangan di Desa Sajira yang menuju rumahnya, ambruk. Akhirnya dia pun memutar yang membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam.
Saat sampai rumah, Nurjannah terkejut karena barang-barang di rumahnya sudah kosong. "Habis semua, alat dapur, mesin cuci, kulkas, bufet, lemari, rak-rak, kasur, hanyut semua. Ada ini kasur yang gede, basah, mungkin pas banjir bandang kasurnya enggak bisa ke luar karena tertahan saking besarnya," ucap dia.
Nurjannah mengatakan dia dan keluarga sudah tinggal di rumah itu sejak 1994. Bahkan tetangganya ada yang lebih lama dari itu. Namun, baru kali ini banjir terjadi seperti sekarang.
"Baru ini banjir kayak gini. Sebelumnya enggak sampai setinggi rumah. Paling cuma di bawah situ," tutur dia sambil menunjuk pohon kelapa di sisi sungai.
Rumah Nurjannah tampak rusak pada bagian jendela. Kaca jendela pecah, dan ruangan di dalam rumah terlihat kosong. Tembok dapur yang berada di belakang rumah, jebol. Tembok dapur tersebut berada di sudut pojok yang dihimpit rumah tetangga sebelah, sehingga seolah membentuk lorong atau gang.
Tak hanya rumah Nurjannah, rumah warga sekitar yang berhadapan langsung dengam Sungai Ciberang juga tampak porak-poranda. Banyak dinding yang jebol. Daun-daun pohon kelapa berserakan.
Dapur Keliling (Darling) untuk para pengungsi di Posko Dompet Dhuafa Lebak Banten.
Bertahan di posko
Salah seorang warga Lebak Banten, Ani (27 tahun) memilih untuk menetap sementara di Posko Dompet Dhuafa. Posko tersebut berlokasi di Pondok Pesantren Darul Musthofa, Kampung Hamberang, Desa Luhur Jaya Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak.
"Enggak mau ke rumah. Kalau ke rumah takut longsor," ujar dia kepada Republika.co.id, Rabu (8/1).
Saat ini kondisi di daerah Kecamatan Cipanas, Lebak, terpantau hujan deras. Intensitas hujan tergolong tinggi karena hujan turun setiap hari dalam durasi yang panjang, sesekali gerimis lalu turun deras.
Rumah Ani, ibu dari dua anak ini, berada di RT 1 RW 1 Kampung Bungawari Desa Lebakgedong, Kecamatan Lebakgedong, Kabupaten Lebak, Banten. Rumahnya berada di dataran rendah di mana permukaan jalan lebih tinggi dari kediamannya, dan berada di dekat Sungai Cijaha.
"Sudah 12 tahun tinggal di rumah itu. Baru kali ini longsor. Dan baru ini juga hujan deras seperti ini," tutur dia.
Ani meninggalkan rumah pada Rabu, 1 Januari lalu, ketika hujan lebat yang turun sejak Selasa malam 31 Desember 2019 hingga keesokan hari. Pada sekitar pukul 09.00 pagi WIB, di tengah hujan deras, dia memutuskan untuk meninggalkan rumah karena khawatir terjadi longsor yang menimpa rumah. Apalagi beberapa rumah tetangganya memang sudah ada yang rusak akibat longsor.
"Rumah saya kan di bawah jalan. Dari malam hujan terus, udah aja jam 9 pagi saya lari aja dulu jauh sambil megangin anak (dua anak). Terus berhenti di kantor kecamatan, nungguin hujannya reda. Langsung ke GOR Cikomara menginap dua hari di GOR. Dari GOR terus pindah ke sini (Posko Dompet Dhuafa)," ujarnya.
Ani menjelaskan, lokasi GOR itu juga sudah terjadi retakan sehingga banyak warga pengungsi yang pindah mengungsi ke Posko di Kampung Ciuyah.