Senin 06 Jan 2020 20:04 WIB

PBNU: Meski China Investor Besar, Pemerintah Jangan Lembek

PBNU mendukung sikap tegas pemerintah terkait konflik di Natuna.

Rep: Muhyiddin, Sapto Andika Candra/ Red: Andri Saubani
Ketua Umum PBNU, Prof. KH. Said Aqil Siraj saat membacakan pernyataan sikap resmi Nahdlatul Ulama (NU) terkait pelanggaran batas wilayah oleh kapal Cina di perairan Natuna di Kantor PBNU, Jakarta Pusat,  Senin (6/1).
Foto: Republika/Muhyiddin
Ketua Umum PBNU, Prof. KH. Said Aqil Siraj saat membacakan pernyataan sikap resmi Nahdlatul Ulama (NU) terkait pelanggaran batas wilayah oleh kapal Cina di perairan Natuna di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Senin (6/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof. KH. Said Aqil Siraj menyatakan, sikap pemerintah harus tegas dalam menyikapi konflik di Laut Natuna. NU akan mendukung sikap tegas Pemerintah RI terhadap China.

"Meskipun China merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia, NU meminta Pemerintah RI tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi. Keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, di darat dan di laut, dan juga di udara adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apapun," kata Kiai Said saat menyampaikan sikap resmi NU terkait kasus Natuna di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Senin (6/1).

Baca Juga

Hal ini disampaikan Kiai Said dengan berpedoman pada prinsip yang diajarkan pendiri NU, Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari atau yang bisa dipanggil Mbah Hasyim.

Menurut Kiai Said, sebagaimana dinyatakan oleh Mbah Hasyim, hukum membela keutuhan Tanah Air adalah fardhu ain atau wajib bagi setiap orang Islam. Dan barang siapa mati demi tanah airnya, maka ia mati syahid.

"Itulah dasar pernyataan kita sebagai warga NU semuanya, bukan hanya PBNU, menyatakan seperti ini berangkat dari prinsip yang telah diajarkan oleh pendiri NU, Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, kakeknya Gus Dur," ujar Kiai Said.

[video] Kapal China Melanggar di Natuna

Dalam menyikapi konflik Natuna tersebut, Kiai Said menyatakan, bahwa NU mendesak pemerintah Republik Rakyat China (RRC) berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan RI yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB, yaitu United Nation Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982.

Menurut Kiai Said, kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah diratifikasi sejak 1994. Karena itu, tindakan Coast Guard RRC mengawal kapal nelayan berbendera China di perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima.

Kiai Said menjelaskan, Pemerintah RRC secara sepihak telah mengklaim berhak atas Kepulauan Nansha atau Spratly yang masuk dalam sembilan garis putus-putus pertama kali pada peta 1947. Menurut dia, klaim tersebut menjangkau area perairan seluas dua juta kilometer persegi di Laut China Selatan yang berjarak dua ribu kilometer dari daratan China.

"Klaim sepihak ini menjadi pangkal sengketa puluhan tahun yang melibatkan sejumlah negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam," ucapnya.

Sebagaimana diketahui, lanjutnya, Filipina sebelumnya juga telah memperkarakan China atas tindakannya yang agresif di perairan Laut China Selatan pada 2013. Pengadilan Arbitrase PBB yang berpusat di Den Haag pada 2016 kemudian memutuskan seluruh klaim teritorial China atas Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum, termasuk konsep nine dash line dinyatakan bertentangan dengan UNCLOS.

Namun, Beijing menolak putusan tersebut. Menurut Kiai Said, penolakan tersebut merupakan bentuk nyata pelanggaran terhadap norma dan konvensi internasional yang diakui secara sah oleh masyarakat dunia.

Pada hari ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, Indonesia tidak meladeni tawar-menawar bila berbicara soal kedaulatan negara. Pernyataan Jokowi ini menanggapi konflik antara Indonesia dan Cina di Perairan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

"Saya kira, seluruh statement yang disampaikan sudah sangat baik bahwa tidak ada yang namanya tawar menawar mengenai kedaulatan, mengenai teritorial negara kita," jelas Jokowi dalam pembukaan sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Senin (6/1).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement