Senin 06 Jan 2020 19:42 WIB

Soal Natuna, Politikus PDIP Dukung Sikap Menko Polhukam

Politikus PDIP mendukung sikap Menkopolhukam terkait masalah di Natuna.

Rep: Ali Mansur/ Red: Bayu Hermawan
Pergerakan kapal Coast Guard China terlihat melalui layar yang tersambung kamera intai dari Pesawat Boeing 737 Intai Strategis AI-7301 Skadron Udara 5 Wing 5 TNI AU Lanud Sultan Hasanudin Makassar saat melakukan patroli udara di Laut Natuna, Sabtu (4/1/2020).
Foto: ANTARA FOTO
Pergerakan kapal Coast Guard China terlihat melalui layar yang tersambung kamera intai dari Pesawat Boeing 737 Intai Strategis AI-7301 Skadron Udara 5 Wing 5 TNI AU Lanud Sultan Hasanudin Makassar saat melakukan patroli udara di Laut Natuna, Sabtu (4/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ono Surono mendukung pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD soal ketegangan di Laut Natuna. Yakni mendorong 150 kapal perikanan asal pantura Jawa beroperasi di Laut Natuna atau Laut Cina Selatan. Itu setelah Cina mengklaim atas Laut Natuna dengan masuknya kapal ikannya ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna Utara.

Menurut Ono, yang juga anggota Komisi IV DPR RI itu, hukum laut internasional sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982 memberikan hak eklopitasi dan eksplorasi atas sumber daya alam kepada Indonesia atas wilayah ZEE di Laut Natuna. "Walau seperti itu, sesuai UNCLOS pasal 68, negara lain dapat memanfaatkan SDA terutama ikan bila Indonesia dianggap tidak mampu mengeksplorasi seluruh sumber daya ikan sesuai hitungan yang boleh ditangkap," ujar Ono saat dikonfirmasi Republika.co.id, Senin (6/1).

Baca Juga

Lanjut Ono, saat ini Indonesia boleh dianggap tidak mampu memanfaatkan sumber daya ikan di ZEE. Itu arena turunnya kapasitas kapal perikanan pasca kebijakan dicabutnya izin kapal perikanan skala besar. Ditambah dilarangnya transhipment di tengah laut dan pembatasan kapasitas kapal ikan maskimal 150 grosston serta belum ada pelabuhan perikanan yang terdekat yang dapat menampung kapal berikut hasil tangkapannya.

"Jadi, Indonesia itu ibarat rumah tetapi tidak berpenghuni sehingga maling sangat leluasa mencuri isinya," ucapnya.

Namun, bagi kapal perikanan asal pantura Jawa, melakukan operasi di atas 25 mil sampai 200 mil sebagaimana ketentuan ZEE tidaklah mudah. Diperlukan kapal skala besar dan waktu yang lama serta pelabuhan perikanan yang dapat menampung kapal beserta hasil tangkapannya.

Oleh karena itu, Ono meminta ada perubahan peraturan pada KKP. Seperti mengizinkan kembali kapal-kapal perikanan besar yang dahulu izinnya dicabut dengan tetap mengacu pada prinsip "milik dan modal murni Indonesia". Mencabut pelarangan pembangunan kapal perikanan maksimal 150 grosston.

"Memperbanyak kapal pengangkut ikan dan membolehkan untuk melakukan transhipment ditengah laut dengan pengawasan yang ketat. Serta pembenahan Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT) Natuna untuk bisa beroperasi menampung kapal dan hasil tangkapan secara maksimal," pintanya.

Selanjutnya, Ono mengatakan, apabila hal itu dapat dilakukan, maka untuk mengamankan kedaulatan Indonesia khususnya di wilayah Laut Natuna bukan hanya mengandalkan armada angkatan laut, Bakamla dan aparat penegak hukum di laut lainnya. Namun armada kapal perikanan Indonesia juga dapat menjadi penjaga sekaligus menjadi mata bagi Negara untuk menjamin kedaulatan Indonesia dapat terjaga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement