Ahad 05 Jan 2020 06:09 WIB
Catatan 27 Tahun Republika

Seandainya Saya Wartawan Republika

Perasaan terkuat yang saya dapatkan adalah memiliki banyak saudara, banyak guru.

Seandainya saya wartawan Republika. Foto Gedung Republika
Foto: Republika
Seandainya saya wartawan Republika. Foto Gedung Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu, (katanya) wartawan Republika.

1. Masuk Republika harus bisa ngaji ya?

Baca Juga

2. Tes masuk Republika ada hafalan Alquran-nya ya?

3. Harus bisa bahasa Arab ya di Republika?

4. Wartawan Republika? Silakan pimpin doa, Mas!

5. Pasti karyawan Republika kerjanya sambil dzikir ya?!

Lima pertanyaan sekaligus pernyataan itu adalah deretan teratas yang sering saya dengar. Baik langsung disampaikan orang ke telinga caplang saya, atau cerita dari kawan-kawan di Republika yang mendapatkan pertanyaan serupa.

Beberapa kali saya datang di acara silaturahim dari berbagai profesi (bukan liputan) saya "dipaksa" memimpin doa. Alasannya: saya wartawan Republika!

Bahkan... Jangan tertawa ya. Salah satu sohib saya di kantor pernah diminta pengurus masjid untuk membimbing seorang pria yang mau masuk Islam. Saat itu dia yang mau liputan "dipaksa" memualafkan seorang pria karena ustaz yang dijadwalkan pengurus masjid tak jadi datang. Alasannya: dia wartawan Republika!

Orang yang sama. Dia juga pernah diminta naik mimbar untuk ceramah saat ikut liputan seorang ustaz di Irian.

Saya yang mendengar cerita ini sambil bergurau bilang: Subhanallah, itu pengurus masjid ketipu sama elu! --Tapi Insha Allah beliau salah satu orang terbaik di Republika karena bertahun-tahun menjadi pemegang kanal Khazanah.

Cerita lain, ada seorang kiai yang terang-terangan meminta seorang wartawan Republika --yang beberapa kali meliput kegiatan pesantrennya-- untuk menikahi putrinya. Dia mau dijadikan menantunya kiai. Alasannya: dia wartawan Republika. Sayangnya, wartawan yang saya omongin ini belum berani mengikuti sunnah Rasulullah.

Ada juga wartawati Republika yang dipinang seorang bapak di bus kota, untuk jadi istri anaknya yang seorang dokter. Bapak itu adalah pembaca setia Republika, dan mungkin dia yakin wartawati Republika adalah jaminan calon istri solehah.

"Saya kira wartawan Republika, ngetik beritanya sambil dzikir, serius terus. Ternyata sering bercanda juga ya," atensi seorang mahasiswi magang di hari terakhirnya bekerja sebagai wartawan magang Republika.

Saya hanya mengulum senyum. Karena bekerja di Republika tak melulu soal dikejar-kejar deadline. Kami juga sering ngabodor, ngacapruk.

Kami, Republika sadar sudah menjadi brand ambassador umat Islam. Baik atau buruknya kelakuan kami, bisa dianggap mencitrakan Islam. Sehingga kami sebisa mungkin mengindari jangan sampai ada cibiran, "Kok wartawan koran Islam kelakuannya begitu".

Selama hampir satu dekade saya bersama Republika, perasaan terkuat yang saya dapatkan adalah memiliki banyak saudara, banyak guru. Insha Allah kami bersaudara di dunia, bertetangga di surga. Aamiin.

Selain itu lingkungan Republika sangat nyaman untuk beribadah. Bagi yang pernah berkunjung ke Republika pasti tahu, jika di 4 waktu shalat (kecuali Subuh) akan terdengar suara adzan di semua lantai gedungnya. Setiap selesai Shalat Ashar ada kultum dan mendaras kitab di mushala.

"Abang-abang harus bersyukur dikumpulkan di lingkungan yang sangat mendukung untuk beribadah bersama-sama," kata Ustaz Khalidi Asadil Alam, pemeran Khairul Azzam di film Ketika Cinta Bertasbih, saat berbagi cerita di mushala Republika beberapa waktu lalu.

Menjadi wartawan, khususnya di Republika memang harus siap mengorbankan waktu. Termasuk waktu saat Idul Fitri. Putra pertama saya pernah tiba-tiba datang ke ruang kerja saya di rumah, saat saya dapat jatah piket hari pertama Idul Fitri. "Abati... Abati, kalau Abati kerja terus, kapan kita jalan-jalannya?"

Lebaran memang bukan liburan untuk wartawan, Nak. (Baca Juga: Kami yang tak Bisa Lebaran Bersama Keluarga)

Beratnya tugas kami, Republika, sebagai pasak umat, membuat seorang senior di kantor pernah berpesan, "Setengah kaki kita ada di surga. Karena kita wartawan, khususnya wartawan Republika, mengemban tugas kenabian. Yaitu menginformasikan kebenaran kepada umat Rasulullah."

Detik berganti menit, menit berpindah jam, jam beralih hari, hari menjadi pekan, pekan bersalin bulan, bulan berpindah tahun, tahun berubah dekade. Sejak pertama kali terbit pada 4 Januari 1993, selama 27 tahun ini kami berupaya menjadi "Rumah Seluruh Umat Islam" di Indonesia. Kami tetap teguh membela kepentingan umat Islam, di berbagai gelanggang kepentingan. Insha Allah kami akan tetap menjadi pengawal isu-isu terkait kepentingan umat.

Terima kasih kepada para pembaca setia kami. Doakan Republika tetap menjadi media yang menjaga kehormatan umat. Setiap huruf yang kami rangkai menjadi kata dan kalimat hingga berita, menjadi amal shaleh dan pemberat timbangan kebaikan di akhirat. Doakan Republika tetap istiqamah. Doakan Republika bertahan dari gempuran fitnah. Dan yang tak kalah penting, doakan juga agar seluruh karyawan Republika lebih sejahtera, di dunia dan akhirat. Aamiin.

Di akhir tulisan ini saya hanya sekadar mengingatkan:

Jika Anda ketinggalan informasi: Kapan sih 1 Ramadhan? Buka Republika.

Mencari jadwal shalat? Klik Republika.

Mau tahu sejarah Islam? Baca Republika.

Cari pasangan atau menantu yang sholeh atau sholehah? Coba lamar karyawan/karyawati Republika.

Jadi benar gak ada tes ngaji dan bahasa Arab untuk masuk Republika?

Jawabannya: Gak ada. Masuk Republika cukup ucap salam dan lapor satpam ada hajat apa. Hehehehe...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement