Sabtu 04 Jan 2020 11:16 WIB

Prihatin pada Kesehatan Fisik Para Ustaz Muhammadiyah

Wafatnya Buya Yunahar Ilyas mengingatkan kita pada pentingnya aspek kesehatan.

Keluarga dan kerabat mengusung jenazah Wakil Ketua Umum MUI sekaligus Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas saat prosesi pemakaman jenazah di Masjid Gede Kauman Yogyakarta, Jumat (3/1/2020).
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Keluarga dan kerabat mengusung jenazah Wakil Ketua Umum MUI sekaligus Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas saat prosesi pemakaman jenazah di Masjid Gede Kauman Yogyakarta, Jumat (3/1/2020).

Oleh: Bambang Wahyu Nugroho*)

Pada 2 Januari 2020, Prof Dr Yunahar Ilyas wafat dalam usia 63 tahun. Kepulangan beliau mengingatkan kita pada wafatnya para tokoh dakwah lain. Yang akan saya soroti kali ini adalah wafatnya Ustaz Suprapto Ibn Juraimi (2009, usia 66 tahun) dan Dr Said Tuhuleley (2015, usia 62 tahun).

Sebelumnya saya mengingatkan pembaca bahwa tulisan ini akan meninjau dari segi kesehatan di mata seorang awam. Saya bukan dokter atau perawat. Saya hanya sesekali menjadi pasien di PKU Muhammadiyah. Jadi, para dokter dan ahli kesehatan mohon dapat memberi pencerahan lebih jauh.

Mengapa saya menggarisbawahi ketiga tokoh tersebut? Sebab, saya melihat adanya ‘triangulasi’ yang berkaitan dengan masalah kesehatan (fisik) ini.

Pertama, ketiganya adalah tokoh dakwah Muhammadiyah yang tak mengenal lelah. Bagi aktivis Muhammadiyah, pasti hapal kisah tentang bagaimana dulu sang pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, tetap bersikeras untuk keluar rumah berdakwah sekalipun beliau dalam keadaan demam, dan sudah diingatkan oleh istrinya, Nyi Walidah. Semangat itu pula yang barangkali membawa takdir beliau wafat dalam usia 54 tahun pada 1923.

Semangat dakwah seperti itu diteruskan oleh para kader Muhammadiyah hingga saat ini. Dan, tampaknya termasuk semangat untuk “tidak peduli pada kondisi kesehatan fisik” tersebut.

***

photo
KH Suprapto Ibnu Juraimi

Ustaz Ibn Juraimi suatu kali pernah berpesan kepada para santrinya, (termasuk saya):

“Jika umat memerlukanmu dan mereka bersedia menjemput, menyambut baik, mengantar pulang dengan honor dan cinderamata, dan kamu senang karena itu, maka janganlah menjadi juru dakwah. Jika umat memerlukanmu tetapi mereka memintamu datang sendiri dengan biaya sendiri dan mereka tidak menyambutmu dengan baik, bahkan mereka lupa berterima kasih, dan kamu kecewa karena itu, maka janganlah bersedia menjadi juru dakwah. Jadilah juru dakwah karena engkau ridha kepada Allah subhaanahu wa ta'aalaa.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement