Jumat 03 Jan 2020 17:50 WIB

Jabodetabek Perlu jadi Provinsi untuk Atasi Banjir

Tidak terkendalinya RTRW bawa petaka banjir di Jabodetabek.

Warga membersihkan sampah pascabanjir yang melanda kawasan Kampung Pulo, Jakarta, Jumat (3/1/2020). Banjir di Jabodetabek memerlukan penanganan yang bersifat koordinatif.
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Warga membersihkan sampah pascabanjir yang melanda kawasan Kampung Pulo, Jakarta, Jumat (3/1/2020). Banjir di Jabodetabek memerlukan penanganan yang bersifat koordinatif.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nugroho Habibi

BOGOR -- Sekretaris Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia Restu Gunawan mengungkapkan persoalan banjir di Jabodetabek. Menurutnya, kendala utama yang dihadapi wilayah Jabodetabek yakni kurang terkendalinya RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah).

Baca Juga

"Kalau perlu provinsinya diperluas. Menurut saya, Jabodetabek itu jadi Provinsi DKI Jakarta," kata Restu saat dihubungi dari Bogor, Jumat (3/1).

Restu mengungkapkan, pembangunan di wilayah Jabodetabek acap kali mengabaikan RTRW. Karena itu, dia menjelaskan, RTRW di Jabodetabek harus diatur agar pembangunan perumahan, perkebunan atau kawasan industri dapat dikendalikan.

"Gubernur DKI, apakah bisa mengendalikan Wali Kota Bogor, Wali Kota Depok, Bupati Bogor? kan nggak bisa. Karena itu bukan wilayah DKI, mereka juga itu yang mengeluarkan izin terhadap penggunaan lahan di situ," ungkapnya.

Cara lain, lanjut dia, pemerintah pusat dapat membuat desain RTRW khusus Jabodetabek. Dengan demikian, dia menyatakan, manajemen tata ruang dapat diatur oleh satu pihak dan tidak terbentur antarpusat, provinsi maupun daerah.

"RTRW Jabodetabek yang dikendalikan pusat, reinforcement-nya juga kuat bahwa itu untuk mengendalikan banjir," jelasnya.

Restu mengungkapkan, banjir yang melanda Jakarta diakibatkan banyaknya pembangunan yang tidak sesuai dengan RTRW. Bangunan yang ada saat ini, kata dia, banyak yang mengabaikan lahan resapan air.

"Semestinya bangunan di wilayah Jabodetabek harus memperhitungkan ruang terbuka dan serapan air. Nah ini kan problem RTRW yang tidak bagus, misalnya orang bisa membangun rumah semaunya sendiri," katanya.

Penulis buku 'Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa' itu menjelaskan, banjir yang terjadi di Jakarta dipengaruhi oleh hujan lokal dan air kiriman dari Bogor. Dia mengungkapkan, tingginya air tak dapat diserap tanah lantaran padatnya bangunan.

"Kalau banjir kiriman kan dari atas, tata ruang di atas antara Cianjur, Bogor dan Depok itu perubahan lahan cukup masif sejak zaman Belanda dulu," ujarnya.

Restu menceritakan, alih fungsi lahan khususnya di wilayah Puncak, Kabupaten Bogor telah terjadi sejak zaman kolonial Belanda. Sekitar, tahun 1830-an Belanda melakukan tanam paksa. Alih fungsi lahan menjadi kawasan industri dan kebun semakin masif tahun 1900-an.

"Tapi ini bagusnya Belanda, ketika di atas (Puncak) terjadi perubahan yang cukup masif kemudian dibangun kanal. Yaitu kanal manggarai itu tahun 1911 sampai 1919 selesai," jelasnya.

Di area Bogor, lanjut dia, Belanda kemudian membangun Bendung Katulampa. Waktu itu, Bendung Katulampa hanya dipergunakan untuk penyediaan air untuk kebutuhan Istana pada tahun 1700-an.

"Bendung Katulampa permanennya tahun 1911-an," ungkapnya.

Perubahan lahan serapan di Bogor kian masif pada masa orde baru ketika Tol Jagorawi dibangun 1970-an. Sebab, akses dari Jakarta menuju Puncak, Bogor semakin mudah. Pembangunan vila-vila di Puncak pun mulai dilakukan secara besar-besaran.

"Orang bangun vila di atas. Jadi perubahan lahannya cukup masif sampai sekarang," ucapnya.

Waktu itu, dia menjelaskan, terdapat mafia tanah di Puncak Bogor atau yang di sebut biong tanah. Mafia tersebut, menjajakan tanah kepada orang yang ingin membangun vila di Puncak Bogor.

"Itu pada periode orde baru. Jadi itu ada biong menawarkan tanah dan semua selesai di sana, seperti pengamanan, sertifikat dan sebagainya," katanya.

Berdasarkan penelitian Forest Watch Indonesia (FWI) yang dilakukan pada 2000 hingga 2016, rata-rata setiap tahunnya Puncak kehilangan 350 hektare lahan. Hal ini terjadi terus-menerus dan lahan berubah menjadi tempat tinggal atau lokasi wisata.

Perubahan fungsi lahan ini disebut paling tinggi terjadi di dua wilayah, Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan. Dua desa ini dipilih karena merupakan titik nol (0) dari sungai Ciliwung atau bagian hulu.

Sekitar enam hektare atau 6.000 meter persegi lahan telah digunakan sebagai lokasi tempat tinggal atau vila. Total vila yang ada diperkirakan 200 vila.

photo
Warga membersihkan endapan lumpur pascabanjir yang melanda kawasan Kampung Pulo, Jakarta, Jumat (3/1/2020).

Restu menyatakan, RTRW yang dibuat oleh pemerintah pusat dapat mengontrol pembangunan. Sehingga, alih fungsi lahan dan perizinan pembangunan di wilayah Jabodetabek khususnya di kawasan dekat dengan sungai hanya melalui satu pintu.

"Perlunya RTRW itu yang harus diperhatikan. Seberapa kuat orang di daerah itu menjaga RTRW," jelasnya.

Bupati Bogor Ade Munawaroh Yasin namun menepis banyaknya lahan yang beralih fungsi dan berkurang. Dia menyatakan, penurunan jumlah lahan serapan air di Puncak bukan dari bagian penggundulan lahan serapan.

"Berarti bukan penggundulan itu mah, hutan dibabat itu baru penggundulan," sangkal Ade.

Ade menyatakan, pihaknya telah mengupayakan penanganan banjir. Dia mengatakan terus berupaya untuk melakukan koordinasi dengan pihak yang terlibat baik dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat maupun DKI Jakarta.

"Kita juga sudah berkoordinasi dengan Pak Gubernur, langkah apa saja yang harus dibahas bersama. Tidak hanya per center atau per satu wilayah karena bencana ini menyentuh semua wilayah yang ada di Jabodetabek khususnya," jelas Ade.

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Citarum-Ciliwung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, sebanyak 77 ribu hektare lahan di Jawa Barat dalam kategori lahan terbuka hijau. Namun, jumlah tersebut terus mengalami penurunan dan masuk dalam kondisi kritis lantaran banyak lahan terbuka hijau beralih fungsi menjadi lahan perkebunan.

"Artinya tutupan lahannya untuk air sudah terbuka. Lereng-lerengnya banyak yang ditanami sayur," kata Kepala BPDASHL Citarum-Ciliwung, Taruna Jaya.

Dari 77 ribu hektare lahan yang terbuka hijau, Taruna merinci, 15 ribu hektare berada di dalam kawasan hutan negara. Namun, 62 ribu hektare berada di luar kawasan atau yang masuk dalam kawasan konsorsium.

Karena itu, Taruna mengungkapkan, lahan terbuka hijau yang berfungi sebagai serapan air semakin kritis. Melalui pembagian bibit gratis, dia berharap, lebih peduli terhadap lingkungan dan melestarikan lahan terbuka hijau.

"Di sekolah-sekolah, di Madrasah di pemukiman-pemukiman perbanyaklah menanam pohon. Karena fungsi pohon itu sangat besar terhadap tabungan air untuk mencegah banjir," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement