Jumat 03 Jan 2020 08:25 WIB

Banjir, Ukhuwah, dan DNA Asli Bangsa Indonesia

Banjir momentum meyakinkan kita bangsa yang diwarisi DNA tolong menolong.

Pendiri Pejuang Subuh Indonesia, Arisakti Prihatwono
Foto: dok. Pribadi
Pendiri Pejuang Subuh Indonesia, Arisakti Prihatwono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arisakti Prihatwono (Rico)*

Pada posisi penghujung tahun baru 2020 warga Jakarta, Bekasi dan sekitarnya dikejutkan bencana banjir yang datang tiba-tiba. Kita semua terkejut luar biasa. Ada yang marah, ada yang berduka, dan banyak menjadi korban. Teriakan masyarakat masih pengang di sosial media kita.

Namun secara umum bencana alam selalu menyajikan multi aspek yang menyentuh kepentingan manusia itu sendiri. Kita masih ingat bagaimana tsunami – Aceh tahun 2004 mampu menyatukan Gerakan Aceh Merdeka dan masyarakat Aceh. Perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005 yang hanya setahun dari peristiwa tsunami – Aceh menjadi saksi bisu bahwa tsunami mampu membalikkan kesadaran manusia akan hakikatnya dan mempersatukan yang ingin berpisah.

Di kejadian banjir Jakarta kali ini kita masih tetap menikmati pertarungan sosial media terkait siapa yang bertanggung jawab akan banjir ini. Topik ratusan tahun yang tak pernah usai dan menjadikan siapa pun yang memegang tampuk komando Jakarta menjadi bulan-bulanan musuh politiknya.

Namun yang paling menggembirakan dari fenomena bencana alam dan banjir kali ini adalah kuatnya rantai persatuan masyarakat Indonesia. Sendi persaudaraan dan ukhuwah tanpa batas suku, agama dan kepentingan politik berbaur indah di sana.

Inilah kohesi sosial sebagai kekuatan utama dan roh terciptanya Indonesia. Bukan jargon namun tindakan nyata. Betapa banyak kita lihat dapur umum muncul dimana saja, donasi terbuka dengan platform media sosial serta multi platform digunakan secara masif bahkan yang paling sederhana permintaan donasi untuk suatu titik yang dikelola seorang anak muda mendapat sambutan positif. Keinginan mengorganisasi sebuah gerakan sosial bertemu dengan berapi-apinya semangat ingin berbagi. Tumbu entuk tutup. Pas menurut peribahasa Jawa.

Inilah kekayaan adiluhung yang semestinya diolah dan direkayasa secara positif supaya menghasilkan kekuatan dahysat bangsa. Bangsa ini sudah terkenal paten sejak dulu, bukan bangsa kaleng-kaleng yang bersifat medioker. Sehingga sudah seharusnya para pemikir sosial kita sudah seharusnya mampu mengintegrasi segala kekuatan sosial beserta nilai sosial tadi menjadi sebuah kehebatan yang sudah layaknya kita rasakan.

Sudah bukan jaman lagi narasi mengadu domba yang membingungkan bangsa dipakai untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu. Saatnya bangkit adalah saat ini.

Banjir adalah momentum meyakinkan bangsa ini bahwa welas asih dan tolong menolong adalah DNA bangsa Indonesia yang murni. Saatnya menyadari bahwa bangsa ini besar dan hebat adalah dengan menyadari DNA bangsa Indonesia yang murni itu ada dan nyata.

*) Dewan Syuro Pejuang Subuh Indonesia & Advokat di  Law Firm Prihatwono

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement