REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fergi Nadira B, Antara, Maburoh
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu RI) pada Senin (30/12) mengkonfirmasi terjadinya pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia oleh China. Pelanggaran ZEE Indonesia terjadi di perairan Natuna.
"Terjadi pelanggaran ZEE Indonesia, termasuk kegiatan illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing, dan pelanggaran kedaulatan oleh Coast Guard China di perairan Natuna," kata Kemenlu RI dalam pernyataan yang diterima Republika, Senin.
Seperti diketahui, baru-baru ini perairan Natuna kembali disusupi kapal asing asal China. Kapal-kapal tersebut langsung ditangkap pada Senin (30/12).
Bahkan beredar video yang menunjukkan kehadiran kapal-kapal ikan China yang dikawal kapal coast guard negara tersebut malah mengusir kapal milik nelayan Indonesia. Gambar dalam video itu mengesankan, perairan Natuna seolah-olah masuk wilayah China.
Oleh karena itu, Kemenlu RI telah memanggil Dubes China di Jakarta untuk menyampaikan protes keras terhadap kejadian tersebut. Nota diplomatik protes juga telah disampaikan.
"ZEE Indonesia ditetapkan berdasarkan UNCLOS. China sebagai pihak pada UNCLOS, harus menghormatinya," kata pernyataan Kemenlu RI.
Kemenlu RI Menegaskan kembali bahwa Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan China. Indonesia juga tidak akan pernah mengakui sembilan dash-line China. Sebab, penarikan garis tersebut bertentangan dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS pada 2016.
Dalam hal ini, Dubes China mencatat berbagai hal yang disampaikan dan akan segera melaporkan ke Beijing. Kedua pihak sepakat untuk terus menjaga hubungan bilateral yang baik dengan Indonesia
"Kemenlu RI akan terus melakukan koordinasi erat dengan TNI, KKP dan Bakamla guna memastikan tegaknya hukum di ZEEI," tutup pernyataan Kemenlu.
Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman, Senin, menemui Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD melaporkan langsung kasus tersebut kepada Mahfud. Termasuk tindakan yang sudah dilakukan, yakni pengusiran terhadap kapal nelayan asing.
Dia menjelaskan, Bakamla sudah mengendus pergerakan kapal-kapal fishing fleet (penangkap ikan) dari utara ke selatan sejak 10 Desember 2019 yang dimungkinkan masuk wilayah perairan Indonesia.
"Maka, kami gerakkan kapal-kapal kita ke sana. Memang diperkirakan tanggal 17 Desember mereka masuk, ternyata mereka masuk tanggal 19 Desember. Nah, kita temukan, kita usir," katanya pula.
Ternyata, nelayan-nelayan asing itu tetap membandel dan mengulangi kembali memasuki wilayah perairan Indonesia. Tetapi, Bakamla sudah bersiaga di kawasan itu.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyampaikan bahwa pihaknya akan lebih memperketat pengawasan di perairan yang terindikasi menjadi tempat masuknya kapal nelayan asing secara ilegal.
"Kami mendapat masukan dari masyarakat, salah satunya dari daerah Natuna, Kepulauan Riau. Kita terus lakukan pengawasan dengan ketat tidak hanya secara online (daring) tetapi fisik, tim kita juga sudah ada di sana dan bersinergi dengan Angkatan Laut dan Bakamla (Badan Keamanan Laut)," ujar Menteri Edhy di Jakarta, Senin.
Ia menambahkan pihaknya juga melakukan koordinasi dengan Kementerian luar negeri karena berhubungan dengan batas wilayah negara.
"Berkomunikasi juga dengan Menteri Luar Negeri, karena ada pihak-pihak yang akan mengklaim wilayah atau segala macam maka kita akan bicara dari sisi urusan diplomasi luar negerinya," ucapnya.
Ia menambahkan Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) juga masih aktif melaksanakan tugasnya. Tugas anggota Satgas 115 bakal selesai per 31 Desember 2019, dan hingga kini belum diketahui apakah satgas yang dibentuk oleh Perpres 115/2015 itu akan diperpanjang atau tidak.
"Satgas tetap ada, dibuat untuk koordinasi, satgas bergerak juga sudah sejalan. Penangan terhadap illegal fishing tetap kita kawal," katanya.
Respons DPR
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Charles Honoris menilai tepat penyampaian nota protes diplomatik oleh pemerintah Indonesia kepada pemerintah China. Charles menilai intrusi kapal Coast Guard Tiongkok memasuki wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) RI adalah pelanggaran terhadap kedaulatan negara RI.
"Kita tidak bisa menoleransi dan tidak bisa berkompromi terhadap pelanggaran kedaulatan negara," kata Charles dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Kejadian tersebut, menurut Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP) DPR RI itu, adalah yang kedua setelah Maret 2019. Saat itu kapal milik China sempat diusir oleh aparat keamanan maritim Indonesia. Menurut dia, pemerintah Indonesia juga bisa memilih respons yang lebih keras apabila tidak ada iktikad baik dari pemerintah China untuk menghormati kedaulatan NKRI.
"Pemerintah bisa mengkaji kembali keterlibatan RI dalam inisiatif-inisiatif multilateral yang diinisiasi oleh Tiongkok di forum internasional, seperti inisiatif One Belt One Road," katanya menjelaskan.
Di tingkat regional, menurut dia, Indonesia juga bisa menggalang negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang wilayah kedaulatannya kerap dilanggar oleh China untuk mengkaji ulang hubungan kawasan dengan negara tersebut. Berbagai kerja sama yang sedang dalam pembahasan antara Asia Tenggara dan Tiongkok, seperti Regional Comprehensive Economic Partnership harus ditinjau ulang kembali.
"Upaya lainnya, Pemerintah bisa menggugat Tiongkok di Forum peradilan Internasional,seperti ITLOS dan ICJ," katanya.
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menilai sistem keamanan laut Indonesia harus ditingkatkan. Karena, menurutnya, selama ini sistem keamanan berjalan dengan Multi Agency Single Task yang menyebabkan penegakan keamanan di laut tidak efektif dan tumpang tindih serta boros anggaran.
"Beberapa kementerian dan lembaga memiliki tugas penegakan hukum di laut, tentunya menyebabkan penegakan keamanan di laut tidak efektif dan tumpang tindih serta boros anggaran. Masalah ini perlu kita pikirkan agar berjalan dengan Single Agency Multi Task," kata Sukamta dalam keterangannya, di Jakarta, Selasa.
Pengamat Kelautan dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim, Abdul Halim menilai akan selalu ada potensi pelanggaran di laut Indonesia. Pasalnya, perairan Indonesia sangat terbuka sehingga memungkinkan kapal-kapal asing masuk ke perairan Indonesia.
“Perairan kita sangat terbuka, potensi terjadinya tindak pidana perikanan sangat besar,” ujar Halim dalam keterangan tertulis, Selasa (31/12).
Halim melanjutkan, untuk mencegah atau mengurangi pelanggaran tersebut harus ada keseriusan dari pemerintah untuk mengatasi hal tersebut. Misalnya dengan meningkatkan anggaran dan peningkatan armada patroli pengawasan.
“Pendek kata (solusinya), peningkatan anggaran, peningkatan kuantitas dan kualitas SDM, armada pengawasan, dan sinergi kelembagaan adalah hal penting yang harus disegerakan dalam rangka pengawasan di laut,” tuturnya.