Senin 30 Dec 2019 22:50 WIB

TW Sayangkan Instruksi Plt. Bupati Muara Enim Soal Harimau

Juarsah meminta harimau ditangkap hidup atau mati.

Tomy Winata melalui Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) melepas Harimau Sumatera yang telah menjalani rehabilitasi untuk kembali ke alam liar.
Foto: ROL/Fakhtar Lubis
Tomy Winata melalui Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) melepas Harimau Sumatera yang telah menjalani rehabilitasi untuk kembali ke alam liar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pegiat konservasi flora dan fauna, Tomy Winata, meminta semua pihak menahan diri terkait peristiwa penyerangan harimau terhadap warga Talang Tinggi, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan Jumat (27/12) lalu. Korban tewas setelah diserang harimau Sumatra saat mandi di pemandian umum sekitar 100 meter dari rumahnya.

 

Tomy menyatakan sangat prihatin atas tewasnya korban bernama Sulis tersebut. Menurut dia, konflik manusia dengan hewan bernama latin Panthera Tigris Sumatrae itu memang kerap terjadi khususnya di pedalaman hutan yang merupakan habitat alamiah bagi harimau Sumatra.

 

Namun, Tomy sangat menyayangkan reaksi dari pemerintah daerah setempat yang justru seolah menabuh genderang perang dengan satwa langka tersebut. Tomy menyinggung pernyataan Plt. Bupati Muara Enim, Juarsah, yang meminta agar petugas Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSAD) dan Polisi Hutan memburu dan menangkap harimau hidup atau mati. 

 

Menurut Tomy, pernyataan ini malah membuat posisi harimau yang wilayahnya sudah tergerus oleh manusia semakin sempit. Di sisi lain, konflik dengan harimau tak akan selesai jika perburuan kepada satwa liar tersebut malah didengungkan.

 

Menurut Tomy, sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat yang kerap bermasalah dengan harimau tak lepas dari persoalan perusakan lingkungan. Menurut dia, harimau yang sudah membentuk ekosistem di hutan semakin hari semakin terusik oleh perusakan hutan. 

 

"Kita jangan menganggu, ini kok malah harimau yang diinstruksikan untuk dibantai. Masih ada cara lain untuk menyelesaikan konflik ini. Ada aturan dan tatanannya. Harusnya ajarin masyarakat agar jangan ganggu wilayah yang sudah menjadi wilayahnya harimau, serta mata rantai makanannya," kata Tomy ketika dimintai tanggapan terkait ucapan dari Plt. Bupati Muara Enim, Juarsah, Senin (30/12).

 

Sosok yang membangun Tiger Rescue Center di Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) ini pun sangat menyayangkan pernyataan Juarsah yang dikhawatirkan malah mengantarkan harimau Sumatra menuju gerbang kepunahan. Padahal, saat ini harimau Sumatra tinggal menjadi satu-satunya spesies harimau di Tanah Air. “Dasar mentang-mentang manusia dan penguasa!" tegas Tomy.

 

Tomy menyarankan agar beberapa waktu ini masyarakat di daerah konflik harimau tersebut untuk mematuhi aturan yaitu pada saat masuk hutan tidak sendirian dan hindari wilayah yang ditenggarai sebagai area harimau “Sebaiknya masyarakat tidak sendirian saat masuk hutan dan adakan patroli," kata dia.

 

Senior Researcher TWNC Ardi Bayu Firmansyah pun turut menyayangkan sikap Juarsah. "Perlu kita pahami bahwa korban dari adanya konflik ini tidak melulu dari kalangan manusia, tapi dari harimaunya sendiri juga bisa menjadi korban," ujar dia.

 

Atas hal inilah, kata Bayu, yang menjadi salah satu penyebab berkurangnya populasi harimau Sumatra secara signifikan. Dia mengatakan, penyebab utama konflik ini adalah rusaknya habitat harimau Sumatra di daerah tersebut. Habitat yang menjadi rumah harimau telah dirusak oleh oknum manusia dan merubah menjadi area penggunaan lain menjadi kebun atau area pertanian. 

 

Bayu menjelaskan, harimau butuh ruang untuk hidup dan membutuhkan satwa mangsa seperti babi hutan dan rusa untuk makan. Ketika habitat mereka diganggu oleh manusia, konflik pun tidak akan dapat dihindari. 

 

"Sangat disayangkan adanya statement yang disampaikan pak Plt. Bupati. Harusnya sebagai pemimpin beliau dapat memberikan solusi terbaik untuk keduanya, baik manusia maupun harimau Sumatra," ujar dia.

 

Bayu mengatakan, pemerintah harusnya merumuskan cara agar manusia dengan satwa liar, termasuk harimau Sumatra, agar dapat hidup berdampingan. Gambaran seperti ini, kata dia, bukan tidak mungkin diwujudkan. 

 

"Karena terdapat satu lokasi di provinsi Lampung, di desa penyangga yang berbatasan dengan kawasan konservasi, TWNC yang dikelola oleh Artha Graha Peduli, di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang didalamnya hidup lebih dari 3.000 kepala keluarga dapat hidup berdampingan dengan satwa liar. Hal ini bisa diwujudkan dengan habitat satwa liar termasuk harimau Sumatra yang masih sangat terjaga. Kesadaran warga disekitar kawasan terhadap konservasi satwa liar juga sangat tinggi," papar dia.

 

Bayu memberikan salah satu contohnya di Enclave Pengekahan yang sampai saat ini sangat minim terjadi konflik dengan harimau Sumatra. Padahal, ujar dia, populasi harimau Sumatra di TWNC sangat padat dan menjadi area dengan kepadatan harimau Sumatra tertinggi di Asia Tenggara.

 

"Kami sangat terbuka sebagai tempat pembelajaran bagaimana mengelola kawasan konservasi yang merupakan habitat harimau Sumatra dengan baik dan benar, bagaimana mengelola habitatnya dan bagaimana memperlakukan manusianya," kata Bayu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement