Rabu 25 Dec 2019 10:09 WIB

Rumah Baru Si Paya Malang

Paya Si Orang Utan kembali dilepasliarkan setelah dirawat sejak September 2019.

Paya dilepaskan ke alam lia oleh Pusat Konservaxi Orang Utan Sumatra, Senin (9/12).
Foto: Ilham Tirta/Republika
Paya dilepaskan ke alam lia oleh Pusat Konservaxi Orang Utan Sumatra, Senin (9/12).

Oleh: Ilham Tirta, Redaktur Republika

REPUBLIKA.CO.ID, TAPANULI -- Gerakannya lamban, tidak segesit monyet atau kera. Namun, langkah dan pegangannya mantap mengunci batang pinus muda. Dengan  satu gerakan, Paya telah bergelayutan di batang pohon sebesar tiang listrik. Ia pun mulai menanjak naik, pelan tetapi lincah. Sementara  itu, riuh suara puluhan orang menggema di sekitarnya. Paya pun menyempatkan menengok ke orang-orang yang memperhatikannya. Ini  bukan pengusiran, melainkan sebuah perpisahan dan penyelamatan.

"Halo, Paya. Kami sahabatmu. Selamat jalan. Sehat-sehat, ya. Dadah," kata orang-orang sambil melambaikan tangannya. Orang utan itu pun terus menanjak tinggi dan berpindah ke batang cabang. Dari batang itu ia berpindah ke batang lain, terus begitu dari satu  pohon ke pohon lainnya. Sementara itu, orang-orang yang tertinggal hanya bisa mendongak disertai sahutan perpisahan yang tak  terjawab.

Sekitar tiga menit kemudian, pergerakan Paya sudah tak bisa diikuti mata. Menurut para petugas kehutanan, dia masih bergerak menuju  tenggara belantara Cagar Alam Dolok Sibual-buali, Tapanuli Selatan. Hari itu, Senin (9/12), spesies Pongo tapanulisiensis tersebut  memang dilepas kembali ke alam lindung setelah lebih dari dua bulan tinggal di kandang penangkaran.

Paya merupakan nama pemberian dari Pusat Konservasi Orang Utan Sumatra (PKOS) berdasarkan wilayah penemuannya. Pejantan 40  tahunan itu ditemukan di Dusun Aek Batang Paya, Tapanuli Selatan, pada 18 September 2019. Ia ditemukan seorang pekebun dengan  kondisi mengenaskan. Dia tak mampu bergerak banyak karena tubuhnya lemah dan penuh luka. Dua luka yang paling menonjol adalah  jejak senjata tajam di bagian dahi kiri dan di bawah lengan.

Merasa iba, warga setempat kemudian melaporkannya ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatra Utara. Pada 19  September, tim BBKSDA kemudian mengevakuasinya dari kebun warga. Petugas kemudian menyerahkannya pada PKOS yang menguasai  kawasan seluas 5 hektare di pinggiran hutan Batu Mbelin, Sibolangit, Deli Serdang.

"Paya ini datang pada 20 September dalam keadaan dehidrasi, lesu, dan ada beberapa luka terbuka," kata dokter hewan PKOS Andika  Pandu Wibisono sesaat sebelum Paya dibawa ke CA Sibual-buali, Ahad (8/12).

# Perjalanan

Gelak canda sejumlah orang di balik bangunan kayu terhenti ketika mobil rombongan BBKSDA, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)  Batang Toru, dan sejumlah media memasuki gerbang PKOS pada Ahad (8/12). Sore itu wilayah Batu Mbelin sedang gerimis dan sedikit  berkabut. Sudah diduga, mereka sedang menunggu kedatangan kami. Seekor orang utan sebesar tubuh lelaki muda digotong ke luar  untuk dimasukkan ke dalam sangkar khusus. Kami memang akan berpegian jauh, menurut jadwal mulai pukul 18.00 WIB hingga pukul 6.00 WIB hari berikutnya. Jadwal itu sudah dihitung istirahat setiap 2 jam perjalanan.

Paya bukan satu-satunya "pasien" di PKOS yang pernah dikunjungi bintang gemilang Leonardo Wilhelm DiCaprio itu. Kepergian dia akan  menggenapkan jumlah orang utan di sana menjadi 56 ekor.   

Dokter Pandu bersama tim medisnya kemudian menyuntikkan bius kepada Paya sebelum ditidurkan ke dalam sangkar besi ukuran 1,5 x  1,5 meter persegi. Menurut Pandu, bius itu prosedur standar ketika satwa liar akan dimasukkan dalam sangkar dan dibawa perjalanan  jauh. Karena itu, kami harus menunggu sekitar 30 menit sampai Paya kembali sadar dan siap berangkat.

Menurut Pandu, Paya sudah siap dilepas kembali ke hutan. Selama lebih dari dua bulan perawatan, dia sudah kembali pada sifat liarnya. Luka-lukanya pun sembuh dengan cepat. "Sifat aslinya yang liar mulai terlihat dan itu bagus ketika dia dilepaskan," kata dia. Pelepasan itu pun berdasarkan surat rekomendasi PKOS ke BBKSDA dan PLTA Batang Toru sebagai penanggung jawab Paya.

Tidak sesuai jadwal, kami berangkat ke CA Dolok Sibual-buali di Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan, lebih awal, yakni pukul 16.30 WIB.  Rombongan empat Triton double cabin menembus sore bergerimis dan melintasi malam berkabut di pinggiran Danau Toba dan Pulau  Samosir. Rombongan tiba di kantor BBKSDA wilayah Sipirok sekitar pukul 03.00 WIB hari Senin (9/12). Subuh itu, kami bermalam di  kantor itu.

# Pelepasan

Kabut tebal menyelimuti Sipirok yang dingin. Jarum jam berdatak menuju angka 07.00 WIB. Hampir seratus orang sudah siap mengikuti prosesi pelepasan si Paya. Sementara itu, tepat di depan kantor BBKSDA Sipirok, samar terlihat CA Dolok Sibual-buali. Itu adalah  wilayah hutan pegunungan yang membentang jauh sepanjang mata memandang. 

Pukul 08.00 WIB, kabut belum juga menipis. Rombongan memutuskan segera bergegas. Tempat pelepasan adalah pos penjagaan  pertama Sibual-buali, sekitar 2 kilometer dari jalanan umum. Sekitar 10 mobil menanjak hingga ke pos pertama dengan membelah kabut.

Kabut menyingkir bersama rintik yang mulai turun. Namun, gerimis yang kian membesar tak membuat proses pelepasan tertunda.  Sekitar pukul 08.30 WIB, sangkar besi si Paya digotong menggunakan penyangga kayu ke dalam hutan, sekitar 500 meter dari jalan pos  penjagaan. 

Sekitar pukul 09.00 WIB, pintu sangkar pun diangkat Kepala BBKSDA Sumut Hotmauli Santuri. Tidak menunggu lama, Paya langsung  keluar dengan sambutan meriah para pengantar. Banyak yang berdecak karena baru pertama melihat orang utan secara langsung  sedekat itu. Tidak sampai tiga menit, pergerakan Paya yang dramatis menghilang di balik rimbunan hutan.

Menurut Hotmauli, spesies yang DNA-nya 97 persen identik dengan manusia itu akan bisa bertahan di hutan itu. Selain karena luka-lukanya yang sudah sembuh, CA Dolok kaya akan makanan orang utan. "Dia masih bisa survive maka kita bawa ke Sibual-buali ini, kembali ke rumahnya," kata Uli.

Cagar Budaya Dolok memiliki luas 5.012 hektare dengan tingkat kepadatan orang utan yang rendah. Paya adalah orang utan ke-16 yang  mendiami kawasan tersebut. Sementara itu, populasi orang utan Tapanuli di semenanjung Sumatra Utara sekitar 577-760 ekor.

Selama satu pekan pertama, tim BBKSDA bersama tim dari PLTA Batang Toru akan memantau pergerakan dan kehidupan baru si Paya.  Hal itu untuk memastikan Paya bisa bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan barunya. "Kita akan pantau terus, sekitar satu pekan," kata Uli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement