REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Yusuf, Rr Laeny Sulistyawati, Iit Septyaningsih, Idealisa Masyrafina
JAKARTA-- Lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia diminta fokus melakukan penelitian terhadap bahan-bahan halal untuk keperluan medis. Penelitian penting dilakukan agar dapat menghasilkan bahan pengganti obat dan vaksin yang tidak halal dengan substitut halal.
"Ini wajib dilakukan dalam lima tahun ini," kata Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah saat refleksi akhir tahun IHW dengan tema 'Posisi Indonesia dalam Industri Halal Dunia dan Kondisi Halal Saat Ini', Senin (23/12) kemarin.
Ikhsan mengatakan, pemerintah harus dapat mengambil hikmah dari negara Senegal yang beberapa waktu lalu telah berhasil menemukan bahan vaksin Yellow Fever dari bahan substitusi yang halal. Kini Senegal telah mendulang devisa dari perdagangan Vaksin di kawasan Afrika Barat.
Menurut Ikhsan, bila Indonesia dapat mencontoh Senegal, maka negara tidak perlu membelanjakan triliunan rupiah untuk pengadaan vaksin BCG, dipteri, campak, cacar, meningitis, serviks dan lainnya. "Ini sekaligus tantangan Biofarma sebagai industri vaksin terbesar untuk mampu berkolaborasi dengan Universitas untuk memperkuat riset," katanya.
Perkembangan industri halal di seluruh dunia terus meningkat dalam beberapa tahun ini. Khususnya untuk produk makanan, keuangan, mode, kosmetik dan obat-obatan, media dan pariwisata.
Indonesia harus maksimal mengambil keuntungan dari bisnis produk halal yang sangat potensial dan ukuran pasar yang sangat besar. Karena meliputi makanan, minuman, kosmetika, obat, mode dan wisata. Saat ini kita masih menempati posisi utama sebagai negara konsumen terbesar yang membelanjakan hampir 170 miliar dolar AS per tahun untuk produk halal, berdasarkan data Global Islamic Economy Indicator 2018/2019.
"Artinya bila kita dapat memasok kebutuhan sendiri, maka kita akan menghemat devisa sebesar Rp 2.465 triliun per tahun," katanya.
Ikhsan mengatakan, sektor terbesar ke 2 yang harus dikejar adalah kosmetika halal yang potensial menyumbangkan pendapatan bagi negara. Karena sektor ini tidak hanya memenuhi kebutuhan wanita tapi juga pria yang kini banyak menggunakan produk perawatan kulit atau tubuh khusus Kaum Adam.
Bahkan sekarang sudah bermunculan produk kosmetika yang dapat dipergunakan untuk pria dan wanita (unisex). "Maka dari itu pemerintah Indonesia harus dapat memacu riset agar dapat menghasilkan berbagai obat dan vaksin halal yang sampai saat ini masih didominasi oleh obat dan vaksin yang masih berbahan baku non-halal," katanya.
Ikhsan menyarankan,saat ini orientasi masyarakat Indonesia harus sudah bergeser untuk tidak lagi membahas dan berpolemik tentang sertifikasi halal. Apalagi mengharapkan masukan dari sertifikasi halal sebagai penerimaan negara non-pajak. Harapan itu dimilai sebagai kemunduran sekaligus membebani keuangan negara.
"Yang harus dilakukan saat ini bagaimana Indonesia dapat menikmati keuntungan dari perdagangan industri halal dan Indonesia menjadi Industri utama dunia dalam perdagangan produk halal. Karena sertifikasi halal itu hanya salah satu instrumen saja," katanya.
Jalan Panjang
Jalan menuju vaksin dengan sertifikasi halal tidak singkat. Pada April 2019, akhirnya Vaksin Bacillus Calmette–Guérin (BCG) produksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penghasil vaksin Bio Farma resmi mengantongi sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Niam Sholeh, mengatakan sebelumnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendorong Bio Farma mengajukan sertifikasi. Akhirnya lembaga tersebut mengajukan proses sertifikasi halal vaksin BCG.
Ia mengakui, pengajuan sertifikasi halal vaksin ini membutuhkan waktu. Karena pihak Bio Farma baru mengajukan sertifikasi pada pihaknya.
Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Anung Sugihantono bersyukur, sertifikasi halal vaksin ini akhirnya keluar setelah melewati proses yang sangat panjang. "Ini menjadi keberhasilan dari sisi teknologi dan manajemen," katanya.
Dengan terjaminnya kehalalan vaksin ini, ia optimistis anak-anak Indonesia sebagai calon generasi bangsa bisa terlindung. Ia berkomitmen vaksin-vaksin lain juga secara bertahap mendapatkan sertifikasi halal dari MUI.
Salah satu vaksin yang sedang masuk antrian sertifikasi halal adalah Vaksin MR atau measles rubella. Kementerian Kesehatan seharusnya telah mengirimkan surat ke Serum Institute of India (SII) selaku produsen vaksin MR untuk dapat memberikan data yang dibutuhkan untuk mempercepat proses sertifikasi halal dari vaksin MR.
“Sertifikasi kehalalan (vaksin MR) ini kewenangan MUI. PT Biofarma agar segera (melengkapi) dokumen kepada LPPOM MUI. Kami dari Kementerian Kesehatan juga akan menyurati SII untuk menanyakan kembali tentang bahan (vaksin MR)”, tutur Menkes saat itu Nila Moeloek.
Dalam siaran persenya, Bio Farma pernah mengungkap rencana mengembangkan riset untuk menghasilkan produk vaksin MR. Produksi vaksin MR tersebut akan dikembangkan menggunakan bahan yang tidak mengandung unsur atau najis.
Corporate Secretary PT Bio Farma Bambang Heriyanto, mengatakan, Bio Farma akan berkoordinasi dengan MUI dalam pengembangan produk vaksinnya agar memenuhi aspek halal.
Pengembangan produk vaksin namun membutuhkan waktu lama. Setidaknya dibutuhkan 15-20 tahun untuk menemukan vaksin dengan komponen baru. Selama ini produksi vaksin MR dari India menggunakan bahan babi.
Potensi Ekonomi
Data dari Roadmap dan Strategi Ekonomi Halal Indonesia menyatakan, pada 2017, menunjukkan Indonesia berkontribusi sebesar 10 persen atau membelanjakan sekitar 214 miliar dolar AS, dari jumlah 2,1 triliun dolar AS nilai ekonomi halal dunia. Sayangnya dari sisi ekspor, sumbangan produk halal Tanah Air belum signifikan, sebab tercatat baru 3,8 persen dari total pasar halal dunia.
Global Islamic economy Summit, belanja wisata halal tercatat turn over 184 miliar dolar AS pada 2017, terutama dari negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC) yang jumlahnya relatif sedikit, tetapi mempunyai rata-rata spending sampai 5.000 dolar AS per kunjungan. Pada 2023, diperkirakan pangsa pasar wisata halal akan mencapai 177 triliun dolar AS.
Potensi industri halal di Indonesia sebenarnya sangat besar. Namun belum tergali secara maksimal.
Direktur Eksekutif Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) Ventje Rahardjo Soedigno mengatakan kondisi ini terjadi karena belum ada strategi nasional pengembangan industri halal. Ia menjelaskan, penyusunan strategi tersebut dilakukan dalam dua tahap. Kemungkinan selesai pada Juni 2020.
Direktur Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah KNKS Afdhal Aliasar menambahkan saat ini komite memang tengah menyusun strategi penerapan Masterplan Pengembangan Ekonomi Syariah Indonesia yang sudah diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada Mei lalu. Strategi tersebut disusun bersama kementerian dan lembaga terkait.