Sabtu 21 Dec 2019 20:48 WIB

LP3ES Sebut 2019 adalah Tahun Kemunduran Demokrasi

LP3ES menyoroti pelemahan KPK dan polarisasi masyarakat saat pilpres.

Rep: Febryan. A/ Red: Teguh Firmansyah
Peneliti dari LP3ES sedang memaparkan buku
Foto: Republika/Febryan.A
Peneliti dari LP3ES sedang memaparkan buku

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menyebut 2019 adalah tahun kemunduran demokrasi di Indonesia. Hal itu tampak dari polarisasi masyarakat saat pemilihan presiden hingga pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Peneliti LP3ES Wijayanto, mengatakan, tanda pertama kemunduran demokrasi adalah dengan bercokolnya sejumlah kekuatan antidemokrasi di lingkaran kekuasaan. Namun ia tak menyebut secara terbuka siapa dan seberapa kuat kekuatan itu.

Baca Juga

"Intinya ada aktor-aktor yang seharusnya menjaga demokrasi, tapi ternyata malah mengabaikan nilai-nilai yang mendukung demokrasi itu sendiri," kata Wijayanto dalam peluncuran buku 'Outlook Demokrasi LP3ES: Menyelamatkan Demokrasi Indonesia' di Gedung ITS Tower, Jakarta Selatan, Sabtu (21/12).

Kemunduran demokrasi, lanjut dia, juga tampak saat gelaran Pilpres 2019. Masyarakat masyarakat terpolarisasi secara tajam menjadi dua kubu. Terdapat juga penggunaan institusi negara dan kekuatan nondemokratis oleh salah satu calon. "Ada juga fake news dan hoaks di media sosial," kata Wijayanto.

Selain itu, kata dia, kemunduran juga tampak ketika penguasa mengakomodasi kekuatan islam populis. Bahkan, kekuatan oposisi juga dirangkul untuk bergabung ke dalam kekuasaan. Ia juga menilai pemerintahan jokowi mengintervensi pemilihan ketua partai di dua partai lain. Sehingga yang terpilih orang yang loyal. Namun tudingan ini telah berulangkali dibantah oleh Jokowi.

Adapun titik paling krusial kemunduran demokrasi Indonesia, kata Wijayanto, adalah ketika KPK dilemahkan. Padahal lembaga antirasuah itu adalah tumpuan utama untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih.

Wijayanto menjelaskan, pelemahan KPK itu dilakukan dengan cara-cara yang antidemokrasi. Salah satunya dengan munculnya serangan pasukan siber di dunia maya yang menyebut bahwa KPK diisi orang-orang radikal atau kerap disebut Taliban.

"Satu minggu jelang pengesahan revisi UU KPK ada tsunami pembicaraan di Twitter, Instagram, dan Facebook, yang menyebut KPK adalah sarang radikalisme. Itu untuk membangun propaganda bawha KPK memang harus diawasi dan dilemahkan," papar Wijayanto yang juga direktur di lembaga Centre for Media and Democracy.

Serangan pasukan siber, lanjut Wijayanto, juga disertai dengan serangan hacker. Seperti ketika ribuan dosen berhimpun untuk menolak pelemahan KPK, ternyata beberapa akun WhatsApp mereka diretas. Setelah diretas, disebarkan pesan seolah-olah mereka mendukung revisi UU KPK.

Kemunduran demokrasi selama agenda pelemahan KPK juga tampak di dunia nyata. Yakni ketika diabaikan begitu saja tuntutan mahasiswa yang berdemonstrasi di depan Gedung MPR/DPR pada September lalu. "Ada ratusan mahasiwa luka-luka, tapi itu tidak jadi pertimbangan oleh kekuasaan dalam merevisi UU KPK," kata pengajar Media dan Demokrasi di Universitas Diponegoro itu.

Menurut Wijayanto, semua itu tidaklah lazim dalam negara demokratis. Di mana ada upaya sistematis untuk menghambat publik berdiskusi dan menyampaikan aspirasi di ruang publik. "Kita mengalami regresi demokrasi," katanya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement