REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Media sosial beberapa hari terakhir diramaikan dengan tagar UGM Bohong Lagi. Tagar itu mengemuka usai Rektorat Universitas Gadjah Mada (UGM) tidak kunjung mengeluarkan peraturan tentang kekerasan seksual.
Padahal, rancangan peraturan itu sendiri sudah dilakukan pembahasan sejak tahun lalu. Hal itu yang memicu mahasiswa-mahasiswa UGM ramai menyuarakan pendapatnya melalui media sosial.
Tagar itu sendiri bertebaran bersamaan sebuah video yang menampilkan Rektorat UGM, termasuk Rektor UGM, Panut Mulyono, yang tampak tidak bisa memberikan jawaban kapan peraturan itu ke luar ketika didemo.
"Peraturan pasti akan ke luar, nah kapan itu ya, kapan," kata Panut, menanggapi pertanyaan kapan dari mahasiswa-mahasiswa UGM.
Melalui akun twitternya di @fathuurr, Presiden BEM UGM, Muhammad Atiatul Muqtadir mengatakan, itu berawal dari kasus kekerasan seksual di KKN UGM 2018. Besarnya tekanan media membuat UGM mulai merespon serius.
"Di akhir 2018, UGM berjanji membentuk tim penyusun draf peraturan tersebut," ujar Fathur, Senin (16/12).
Tim terbentuk, draf disusun, mahasiswa cukup terlibat penyusunannya. Bahkan, pada 28 Februari 2019, perwakilan mahasiswa dan LSM bertemu tim penyusun membahas draf peraturan tersebut.
Pada 29 Mei 2019, tim penyusun menyerahkan draf peraturan kekerasan seksual ke Rektorat UGM. Sayang, alih-alih langsung disahkan, aturan tersebut justru tidak ada kabar.
Pada Juli 2019, diadakan forum yang dihadiri perwakilan Rektorat UGM, dan mereka berjanji akan mengesahkan peraturan pada Desember 2019. Menurut Fathur, ketika ditanya mengapa lama alasannya macam-macam.
"Dalihnya ada pasal-pasal yang perlu dikoordinasikan dengan bagian-bagian di UGM," kata Fathur.
Akhirnya, Aliansi Mahasiswa UGM memutuskan melaksanakan aksi bertajuk 'Menggugat Gadjah Mada' pada 13 Desember 2019. Dari aksi itu, terdapat tujuh gugatan yang disampaikan ke Rektorat UGM.
Salah satunya desakan untuk segera mengesahkan peraturan penanganan kekerasan seksual di UGM. Dari aksi itu di hadapan ratusan mahasiswa Rektorat UGM berjanji mengesahkan selambat-lambatnya 13 Desember 2019.
Fathur turut membagikan gambar surat yang ditandatangani Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM, Djagal Wiseso Marseno. Namun, pada 13 Desember 2019, peraturan tidak pula disahkan.
Merespons itu, mahasiswa kembali melakukan konsolidasi dan disepakati untuk memberitakan ke media, lebih masif dan luas. Fathur menekankan, mahasiswa sudah melakukan berbagai cara agar peraturan itu disahkan.
"Jujur, hampir semua cara sudah dicoba, aksi massa, aksi media, audiensi, advokasi, tapi sampai sekarang tidak kunjung mendapat hasil," ujar Fathur.
Ia menuturkan, tagar 'UGM Bohong Lagi' merupakan bentuk protes dan kekecewaan mahasiswa UGM yang terus diingkari. Serta, peringatan kampus yang sering mendeklarasikan diri kampus berintegritas hari ini kembali melanggar integritasnya.
Selain UGM Bohong Lagi, ada pula tagar 'Bukan Panutanku', yang dalam kata panutanku sendiri terdapat nama Rektor UGM, Panut. Fathur sadar, akan banyak yang bertanya karena ini membawa nama baik UGM sendiri.
Fathur berpendapat, justru belajar dari pengalaman, UGM dirasa akan lebih responsif dan serius ketika merasa nama baiknya terganggu. Bagi Fathur, apalah arti nama baik jika penghuninya tidak baik-baik saja.
"Di tengah banyaknya ucapan dan pujian, para pejabat yang berdatangan ternyata ada masalah serius yang tidak terselesaikan, mari kita ikut memperingati Dies Natalies UGM dengan cara yang berbeda, semua demi kebaikan bersama," kata Fathur.