Senin 16 Dec 2019 06:19 WIB

Lika-liku Menuju Stasiun Sentral Manggarai

Selain permukiman padat, maraknya tawuran juga jadi ancaman.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah calon penumpang menunggu KRL di Stasiun Manggarai, Jakarta, Selasa (29/10/2019).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Sejumlah calon penumpang menunggu KRL di Stasiun Manggarai, Jakarta, Selasa (29/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah Pusat berencana memindahkan fungsi Stasiun Gambir sebagai stasiun sentral ke Stasiun Manggarai. Untuk mewujudkan hal itu, bangunan dan area Stasiun Manggarai yang terbatas pun direvitalisasi secara besar-besaran, akses berbagai moda angkutan rel diintegrasikan dan kapasitas lajur ditambahkan.

Berdasarkan pantauan Republika pada akhir pekan lalu, daerah sekitar Stasiun Manggarai memang masih dikelilingi permukiman padat. Jalan-jalan di sekitar Stasiun Manggarai pun bukan jalan besar. Misalnya dari Jalan Tambak menuju Stasiun Manggarai harusmelalui Jalan Manggarai 2 yang kecil. Belum lagi di sisi jalan tersebut dipenuhi permukiman padat yang kerap membuat macet.

Dari Jalan Tambak menuju Jalan Sultan Agung juga harus melalui terowongan yang tingginya terbatas. Terowongan ini pun sempit hanya masing-masing satu jalur dengan arah yang berlawanan. Di sisi barat jalur rel Stasiun Manggarai juga dipenuhi permukiman padat.

Pengembangan Stasiun Manggarai menjadi stasiun sentral tentunya akan dilakukan pembangunan besar-besaran agar mendukung area sekitar stasiun menjadi transit oriented development (TOD). Dimana zona bisnis dan distrik dan hiburan diintegrasikan dalam satu kawasan.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memaparkan rencana revitalisasi Stasiun Manggarai menjadi stasiun sentral akan selesai pada 2021. Dalam kesempatan itu, Budi Karya mengatakan alasan Stasiun Manggarai sebagai stasiun sentral, menggantikan Stasiun Gambir.

Menurutnya posisi Stasiun Gambir yang hanya melayani kereta jarak jauh selalu dapat prioritas dari kereta rel listrik (KRL) atau Commuter. Padahal secara jumlah arus penumpang KRL jumlahnya jauh lebih besar dari kereta jarak jauh.

"Ada 1,2 juta orang yang menggunakan (kereta) dalam kota, (kereta) keluar daerah 10 ribu, makanya kita prioritaskan dalam kota," kata Budi Karya dalam salah satu kesempatan memantau revitalisasi tahap pertama Stasiun Manggarai pada Oktober 2019 lalu.

Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Zulfikri menambahkan, ke depan setelah revitalisasi Stasiun Manggarai menjadi stasiun sentral akan dibangun tiga lantai.

Lantai dasar diperuntukan kereta Commuter Bekasi Line dan RailLink Kereta Bandara. Lantai pertama untuk arus perpindahan penumpang, dan lantai dua digunakan untuk kereta Commuter Bogor Line dan Kereta Jarak Jauh.

Saat ini diakui dia, revitalisasi tahap pertama Stasiun Manggarai hampir selesai, dan segera dilanjutkan dengan revitalisasi Stasiun Manggarai tahap dua yang berada di sebelah timur.

Adapun pembangunan fase II meliputi penyediaan 10 jalur KA layang atau elevated. Kedepan Stasiun Sentral Manggarai akan memiliki 18 jalur KA, di mana delapan jalur KA sisanya berada di atas tanah atau on grid.

Untuk mewujudkan Stasiun Sentral Manggarai yang bertingkat tiga lengkap dengan TOD-nya, tentu membutuhkan area lahan yang cukup luas untuk pembangunan. Zulkifli mengakui lahan yang dimiliki KAI di sekitar Stasiun Manggarai masih diduduki warga dengan pemukiman padat di sebelah timur dan barat stasiun. Hal ini diakui Zulfikri menjadi tugas berat Kemenhub, karena harus merelokasi mereka ke tempat lain.

Kepala Stasiun Manggarai, Hendrik mengakui selama ini pengembangan Stasiun Manggarai selalu terhambat dengan lokasi yang berada di tengah pemukiman padat penduduk. Walaupun sebagian besar area di sekitar Stasiun Manggarai merupakan tanah milik PT KAI namun warga yang sudah merasa mendiami tanah tersebut selama berpuluh-puluh tahun menjadi salah satu tantangan revitalisasi menjadi Stasiun Sentral Manggarai.

"Tidak mudah untuk merelokasi atau memindahkan mereka, ini harus melalui pendekatan persuasif," kata Hendrik.

Walaupun ini tanah milik PT. KAI, kewenangan merelokasi warga dan memberikan ganti untungpun berada di pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Perhubungan, bukan KAI.

Karena itu, Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jendral Perkeretaapian sudah mengupayakan proses relokasi melalui ganti rugi warga yang sudah bertahun-tahun tinggal di tanah milik PT. KAI. Walaupun semua itu tidak berjalan lancar. Selalu ada upaya yang menghambat proses ganti rugi tersebut berjalan lamban.

Hendrik mengatakan, terkadang memang perencanaan yang sudah dilakukan seringkali di lapangan tidak sesuai rencana. Salah satunya adalah soal relokasi warga dari pemukiman padat dan penertiban area lahan PT KAI yang akan dipakai pengembangan TOD yang akan terintegrasi dengan distrik dan pusat bisnis, hingga terminal Manggarai.

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Jakarta, Yayat Supriyatna mengatakan, aspek yang mesti dievaluasi bila memang Stasiun Manggarai akan dijadikan stasiun sentral adalah kondisi lingkungan sekitar. Karena di area stasiun Manggarai termasuk pemukiman padat penduduk. Oleh karena itu aspek pengembangan lokasi seperti perluasan lahan parkir akan sulit.

Persoalan pemukiman padat di sekitar Stasiun Manggarai ini, diakui Yayat cukup pelik. Posisi Stasiun Manggarai yang sangat dekat dengan pemukiman padat, perlu penyiapan lahan yang cukup besar. Dan secara otomatis akan merelokasi sebagian warga yang sudah tinggal berpuluh-puluh tahun di sekitar Stasiun Manggarai.

Selain masalah pemukiman padat, Yayat juga menyorot soal sosial warga di sekitar Stasiun Manggarai. Kebiasaan tawuran warga di sekitar Stasiun Manggarai akan menjadi persoalan lain, yang akan mengganggu operasional perjalanan kereta bila problem sosial ini tidak segera diselesaikan.

"Karena itu butuh keterlibatan semua pihak, bukan hanya Kemenhub dan PT KAI saja namun juga Pemprov DKI," kata Yayat.

Ancaman Tawuran

Selain adanya permukiman padat, pengembangan Stasiun Manggarai menjadi stasiun sentral juga terkendala dengan ancaman tawuran antar warga. Terhitung ada tiga kelompok warga di sekitar Stasiun Manggarai yang kerap terlibat tawuran yaitu warga Pasar Rumput, Menteng Trenggulun, dan Jalan Tambak.

Lokasi tawuran ini pun, mau tidak mau terjadi di jalur rel kereta yang memisahkan tiga kelompok warga ini. Akibatnya lalu lintas kereta komuter yang melewati Stasiun Manggarai menjadi terhenti. Karena posisi Stasiun Manggarai yang berada di tengah-tengah jalur rel komuter di Jakarta, sehingga gangguan ini berdampak ke daerah penyangga Ibu Kota.

Seperti tawuran yang terjadi pada 26 Oktober 2019 lalu. Camat Setiabudi, Dyan Airlangga menduga tawuran terjadi karena tembok pembatas antar wilayah di Stasiun Manggarai dijebol untuk proyek pembangunan. Sehingga membuat intensitas warga yang saling berselisih menjadi meningkat.

"Tembok itu dijebol karena ada proyek pembangunan di stasiun, kita berharap tembok itu dibangun lagi untuk mengurangi intensitas pertemuan antarwarga," kata Dyan.

Belum lagi, diketahui ada jaringan narkotika yang beredar di balik tawuran tersebut. Kasat Narkoba Polres Metro Jakarta Selatan, Kompol Vivick Tjangkung mengatakan, jaringan ini terungkap dari penangkapan seorang kurir di wilayah Tebet, Manggarai, Jakarta Selatan.

"Lokasi penangkapan berdekatan dengan peristiwa tawuran di Manggarai yang lalu," kata Vivick.

Penangkapan kurir Sabu di wilayah Tebet dekat fly over Manggarai ini hasil operasi gabungan Polsek Tebet dan Satnarkoba Polres Metro Jakarta Selatan. Vivick mengatakan, pada saat interogasi di Polsek Tebet tersangka berinisial AR mengakui, tawuran terjadi setiap kali ada transaksi narkoba di wilayah tersebut.

"Jadi, sudah terjawab banyak sekali kejadian tawuran yang berbarengan dengan adanya transaksi narkoba. Baru sekali kita temukan barang bukti seperti ini dan diakui oleh tersangka," kata Vivick.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement