REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) baru-baru ini mengeluarkan survei terkait indeks Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, di mana DKI Jakarta mendapat skor 71,3 masih berada di bawah rata-rata skor nasional 73,83. Namun, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyatakan hubungan antarumat beragama di Jakarta sampai saat ini masih cukup harmonis.
"Alhamdulillah satu hal yang pasti sampai saat ini toleransi beragama di Jakarta masih tetap terjaga dan kondusif," kata Kepala Biro Pendidikan Mental dan Spiritual (Dikmental) Pemprov DKI Jakarta Hendra Hidayat, Jumat (13/12).
Ia pun tidak melihat ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan atas hasil survei dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan pada Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan (Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat) Kemenag tersebut. Sebab, kata dia, Pemprov DKI sudah dan terus akan berusaha semaksimal mungkin hubungan antar umat beragama di Jakarta selalu harmonis.
Hal itu juga yang dilakukan Pemprov DKI kepada semua komunitas agama di Jakarta. Seperti baru-baru ini, saat pembahasan anggaran Raperda APBD 2019 Biro Dikmental menganggarkan sebanyak 20 kegiatan.
Di antaranya, penambahan anggaran bukan hanya untuk umat Islam tetapi memprioritaskan kegiatan pembinaan dan pengembangan paduan suara Gereja Katolik Pesparani. Bahkan untuk menunjang kegiatan itu, dewan sepakat menambah dana hibah sebesar Rp300 juta.
Penambahan dana untuk Pesparani yang awalnya hanya Rp2,7 miliar, kini jadi Rp3 miliar menggunakan dana hibah. Hendra menyebut keputusan dewan yang menyetujui penambahan dana hibah untuk kebutuhan tambahan para peserta yang akan berangkat lomba ke Kupang Nusa Tenggara Timur.
“Kami sudah betul-betul menghitung kebutuhan utama, nah sementara ada kebutuhan tambahan seperti makan, minum, transportasi dan koordinasi sebagainya pada saat di lokasi nanti, dan alhamdulillah itu disetujui,” ujar Hendra.
Penambahan anggaran itu mendapatkan apresiasi dari perwakilan umat Khatolik yang juga ikut hadir bersama membahas anggaran umat beragama di Jakarta. Selain itu, baru baru ini Pemprov DKI juga mendapat apresiasi dari umat Hindu, setelah menyumbangkan alat kremasi bagi komunitas umat Hindu di Jakarta.
Ketua Suke Duka Hindu Dharma Jakarta, Made Sudarta menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Gubernur provinsi DKI Jakarta atas bantuannya. Sehingga umat Hindu di Jakarta, saat ini bisa memiliki mesin kremasi untuk ngaben umat Hindu yang ada di Jakarta.
"Sekali lagi, terima kasih pak Gubernur. Semoga apa yang diberikan oleh pemerintah DKI Jakarta, kami akan rawat sebaik-baiknya dan berfungsi sebaik-baiknya untuk kebutuhan umat kami yang ada di Jakarta dan sekitarnya," kata Made Sudarta di Pura Segara, Cilincing, Jakarta Utara.
Balitbang Diklat Kementerian Agama (Kemenag) sebelumnya, merilis hasil survei indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) 2019. Survei menunjukkan seluruh provinsi di Indonesia memiliki indeks kerukunan yang tinggi.
"Tidak ada satu pun temuan indeks yang menyatakan ada daerah yang tidak rukun atau tidak toleran. Semua daerah rukun dan toleran," kata Ketua Tim Survei Adlin Sila dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (13/12).
Adlin menjelaskan, indeks KUB disurvei untuk mengukur persepsi masyarakat tentang indikator-indikator kerukunan. Indikator terebut antara lain, toleransi, kesetaraan, dan kerja sama.
Dia mengatakan, skor indeks tinggi atau rendah diperoleh dari kondisi psikososial masyarakat sebagai hasil dari realitas pengalaman sehari-hari dalam interaksi antarsesama pemeluk agama. Data yang didapat dalam survei ini juga tidak mewakili agama, melainkan area.
Adlin menjelaskan, skor indeks akan tinggi ketika responden tidak ada sedikitpun resistensi pada konsep yang ditanyakan. Sebaliknya, indeks akan rendah ketika banyak masyarakat yang resisten atas poin-poin yang dipertanyakan.
Adlin mengakui ada perbedaan indeks antara satu daerah dengan daerah lain. Namun, dia menjelaskan, hal itu lebih pada potret dinamika di masing-masing daerah.
"Jadi perbedaan indeks bukan karena agama, tetapi faktor sosial demografis, budaya dan pemahaman atas peraturan perundang-undangan yang ada," katanya.