REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, peraturan pemberian hukuman mati kepada koruptor dapat dimasukkan ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Menurutnya, itu bisa dilakukan untuk mempertegas aturan hukuman mati yang dapat diberlakukan kepada koruptor.
"Kalau ingin lebih tegas lagi, hukuman mati harus diberlakukan kepada koruptor, itu bisa diselipkan di dalam RKUHP yang sekarang sedang kita bahas lagi," ujar Mahfud di kantornya, kemarin (12/12).
Selama ini, kata Mahfud, peraturan tentang hukuman mati terhadap koruptor memang sudah termaktub dalam UU No. 31/1999 yang diperbaharui menjadi UU No 30/2002 tentang Tindak Pidana Koruptor (Tipikor). Pada Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dijelaskan tentang ketentuan-ketentuan pemberian hukuman mati yang dapat diberikan dalam keadaan tertentu, salah satunya bencana alam.
"Nah kalau kita mau tambahkan untuk korupsi itu (di RKUHP) ya sudah kalau terbukti melakukan sekian bisa dilakukan hukuman mati. Jadi ada besaran korupsinya seperti apa. Diukur gitu," katanya.
Di samping itu, Staf khusus presiden bidang hukum Dini Purwono menjelaskan kembali maksud pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait hukuman mati untuk koruptor. Ia mengatakan, berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) diatur hukuman mati bagi pelaku korupsi dalam kasus-kasus tertentu saja.
“Presiden menjelaskan bahwa dalam UU Tipikor hanya diatur hukuman mati bagi pelaku korupsi dalam kasus-kasus tertentu (yaitu bencana alam dan krisis ekonomi),” jelas Dini melalui keterangan tertulisnya, Kamis (12/12).
Dini juga menjelaskan pernyataan presiden terkait kemungkinan dilakukannya hukuman mati bagi koruptor di luar kasus-kasus itu jika rakyat menghendaki. Namun, hal itu juga harus melalui pembahasan di tingkat legislasi yang melibatkan DPR dan pemerintah dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.
“Maksud dari jawaban Presiden 'apabila rakyat menghendaki' adalah bahwa wacana hukuman mati untuk koruptor harus dibahas dalam proses legislasi yang melibatkan diskusi serta pembahasan antara DPR dan Pemerintah dengan memperhatikan aspirasi masyarakat,” jelasnya.
Dini mengatakan, dalam proses legislasi tersebut juga akan dilakukan asesmen atas hukuman mati untuk koruptor dengan memperhatikan pendapat masyarakat, efektifitas hukuman mati terhadap tingkat korupsi, fungsi pemidanaan apakah punitif atau rehabilitatif, hak dasar manusia untuk hidup, tingkat akurasi penyelidikan dan penyidikan, serta proses pemeriksaan dan pembuktian di pengadilan.
“Harus dipikirkan juga kemungkinan adanya novum/barang bukti baru yang bisa mengubah putusan pengadilan. Bagaimana kalau orang yang bersangkutan ternyata tidak bersalah namun sudah terlanjur dihukum mati,” tutur dia.