REPUBLIKA.CO.ID, SERANG— Kasus kekerasan seksual pada anak di Kota Serang pada tahun ini disebut meningkat cukup signifikan.
Data terakhir 2019, sebanyak 43 kasus terjadi di Ibu kota Banten ini. Padahal tahun lalu hanya terjadi 34 kasus.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB), Toyalis, mengatakan fakta peningkatan jumlah kasus ini semakin miris dengan banyaknya korban yang tergolong Balita.
"Kasusnya meningkat memang, didominasi terjadi di Kecamatan Serang dan Taktakan. Juga terjadi pada anak yang belum masuk usia sekolah bahkan pada anak di bawah umur lima tahun," jelas Toyalis, Kamis (12/12).
Sementara pelaku kekerasan seksual, kata Toyalis justru didominasi oleh orang-orang yang tergolong sebagai kerabat dekat korban dibanding pelaku dari ornag yang tidak dikenal. Para pelaku kekerasan paling banyak merupakan guru, tetangga yang dikenal keluarga korban.
Untuk menekan angka kekerasan kepada anak ini Toyalid mengaku oihaknya sudah membentuk Pusat pembelajaran keluarga (Puspaga) dan Kelompok Masyarakst (Pokmas). Dua wadah ini menurutnya dibentuk untuk melakukan sosialisasi ketahanan keuarga hingga pendampingan untuk mencegah yerjadinya kekerasan pada anak.
"Dua kelompok itu digagas UPT PPA, kader-kader dalam kelompok itu yang melakukan sosialisasi hingga edukasi agar kekerasan kepada anak bisa ditangani. Kelomok ini juga sebagai tempat bagi masyarakat melapor jika merasa menjadi korban untuk kemudian diberi pendampingan," jelasnya.
Sinergi dengan lintas instasi dari pemerintahan maupun masyarakat diklaim Toyalis telah dilakukan untuk mengentaskan maslah ini. Meski begitu, ida meminta para ornag tua untuk semakin peduli dan memantau aktivitas anak untuk mencegah peristiwa kekerasan seksual ini terjadi.
"Terkait kasus ini memang ada kurangnya moral para pelaku, masalah ini kan sudah ada program pemerintah atau hukum dari aparat. Tapi di samping itu para orang tua harus lebih perhatian kepada anak. Anak-anak itu kadang mereka tidak tahu kalau mereka mendapat pelecehan atau kekerasan, jari peran orang tua harus lebih waspada," terangnya.
Dia juga berharap masyarakat tidak ragu atau takut melapor kepada pihaknya atau lembaga lain bahkan aparat penegak hukum jika merasa mendapat perlakuan kekerasan seksual. "Jangan takut melapor, kita berikan pendampingan, baik mediasi, hukum atau secara psikologis kepada anak. Targetnya kedepan angkanya bisa semakin ditekan," ujar Toyalis.
Kepala Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Banten, M. Uut Lutfi, mengatakan ada tren peningkatan kasus kekerasan pada anak di 2019 ini.
Dia mencatat, pada 2018 lalu hanya ada 26 laporan yang masuk kepada pihaknya, sementara pada semester oartama tahun ini saja sudah ada 38 kasus yang dilaporkan kepada LPA.
"Kalau dikalkulasi ada peningkatan dari tahun sebelumnya walaupun untuk semester kedua ini belum tutup buku. Sejak Juli itu juga kami lihat banyak masyarakat yang melapor kepada kami terkait kasus ini," terang Uut Lutfi.
Kendati demikian, peningkatan kasus ini menurutnya juga menunjukkan keberanian masyarakat untuk melapor kepada pihaknya. Untuk menekan angka kasus kekerasan seksual ini, perlu tindakan dari banyak pihak baik dari pemerintah maupun aparat kepolisan.
"Program pemerintah harus benar-benar menjadi solusi efektif masalah ini, sementara terkait hukuman bagi pelaku juga bisa dilakukan seperti kebiri yang bisa menimbulkan efek jera," terangnya.
Uut juga mengkritisi belum adanya fasilitas rehabilitasi anak di Banten yang menurutnya sangat penting. Tempat rehabilitasi disebutnya bukan hanya untuk memukihkan kondisi anak pascakekerasan, tapi juga untuk mencegah korban menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari. n alkhaledi