REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan, praktik politik uang terjadi pada era pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan langsung. Bedanya, ketika era kepala daerah dipilih oleh DPRD, politik uang dilakukan secara borongan.
"Ternyata dianggap tidak baik dipilih oleh DPRD dengan dominasi yang luar biasa. Ternyata terjadi politik uang, di mana orang-orang di DPRD itu dibayar saja," jelas Mahfud saat mengisahkan pemilihan kepala daerah pada era Orde Baru di Jakarta, Kamis (12/12).
Pada masa itu, kata dia, DPRD kerap meneror kepala daerah dengan mengancam tidak akan menerima laporan pertanggungjawaban mereka. Ancaman pelengseran dan sebagainya juga kerap dilakukan kala itu.
"Kita marah (dengan cara itu) dan diubah pemilihan jadi pemilihan langsung. Pemilu langsung dianggap lebih baik karena rakyat tak lagi memilih melalui agen-agen DPRD," jelasnya.
Mahfud mengatakan, dengan rakyat memilih kepala daerahnya sendiri tentu diharapkan tidak terjadi lagi politik uang. Tapi, yang terjadi kemudian tak jauh berbeda.
Ketika masih dipilih oleh DPRD, politik uang dilakukan secara borongan melalui agen-agen di sana. Saat dipilih langsung oleh rakyat, politik uang dilakukan secara eceran.
"Kalau lewat DPRD politik uangnya itu borongan, lewat agen-agen. Tapi kalau lewat rakyat itu eceran, sama aja. Tambah boros. Sama. Itu eksperimen dari Pilkada kita," kata dia.
Beberapa waktu lalu, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes menilai wacana pilkada tak langsung atau pemilihan oleh DPRD karena biaya politik tinggi dalam pemilihan langsung merupakan alasan lemah. Padahal, kata Arya, biaya politik tinggi justru karena maraknya mahar politik dalam proses pencalonan.
"Proses pencalonan kita di beberapa tempat masih belum transparan masih adanya mahar politik. Jadi kalau partai bisa membenahi proses pencalonan menjadi transparan, lebih terbuka, itu mungkin biaya di awal jadi berkurang," ujar Arya dalam diskusi di kawasan Jakarta Pusat, Ahad (8/12).
Menurut Arya, biaya politik tinggi bukan karena sistem pilkada langsung, melainkan, praktik mahar politik yang diberikan calon kepala daerah kepada partai politik. Selain biaya politik tinggi, alasan yang muncul agar pilkada dilakukan oleh DPRD karena adanya konflik, dan polarisasi.