Rabu 11 Dec 2019 00:31 WIB

Radikalisme di Medsos, BNPT Petakan 4 Konten Keagamaan

Survei BNPT 2019 menemukan penyebaran konten radikalisme di media sosial masif.

Rep: Febryan A/ Red: Ratna Puspita
Kepala BNPT Suhardi Alius (kedua dari kanan) sedang memaparkan hasil Survei BNPT 2019 di Hotel Mercure, Jakarta Utara, Selasa (10/12)
Foto: Republika/Febryan A
Kepala BNPT Suhardi Alius (kedua dari kanan) sedang memaparkan hasil Survei BNPT 2019 di Hotel Mercure, Jakarta Utara, Selasa (10/12)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 2019 menemukan penyebaran konten radikalisme di media sosial sangat masif. Konten-konten itu didominasi oleh empat jenis konten keagamaan.

Survei yang dilakukan sejak April-Juli 2019 itu mendapati Indeks Diseminiasi Media Sosial atau penyebaran konten yang memicu radikalisme secara nasional berada pada skor 38,33 (skala 0-100). "Skor tersebut masuk dalam kategori tinggi mengingat penetrasi pengguna internet di Indonesia tahun 2018 mencapai 64,8 persen," kata Kepala BNPT Suhardi Alius di Jakarta, Selasa, (10/12).

Baca Juga

Pertama, konten tentang nilai yang terkandung dalam ibadah dengan skor 40,42. Kedua, konten tentang tata cara ibadah yang wajib dengan skor 40,01.

Ketiga, konten tentang hari akhir dengan skor 39, 28. Keempat, konten tentang kehendak tuhan dengan skor 39,05. "Jika dikategorisasi, maka terpaan konten keagamaan yang dominan adalah konten yang terkait dengan fiqih ibadah, hari akhir dan qodo’ qodar," ucap Suhardi.

Sedangkan pada Indeks Kontra Radikal secara nasional hanya ada di angka 11,68. Indeks tersebut masuk dalam kategori sangat rendah. Perilaku Kontra Narasi dengan penyebarluasan pesan-pesan perdamaian melalui media elektronik juga hanya di angka 5,85. 

Suhardi mengatakan, dunia maya memang menjadi tempat penyebaran konten yang memicu radikalisme. "Jadi medsos itu paling berkontribusi besar untuk perubahan interaksi sosial kita, baik sifatnya positif ataupun negatif," ucapnya.

Meski demikian, lanjut dia, Indonesia juga tidak bisa menutup diri dari perkembangan teknologi, termasuk media sosial, jika tak ingin tertinggal dengan negara lain. Oleh karena itu, hal-hal negatif yang ada di media sosial harus diwaspadai.

Ia pun menyebut, salah satu tugas BNPT adalah menjauhkan generasi muda bangsa dari konten-konten yang bisa memicu radikalisme. "Kalau dia terjebak dengan itu (radikalisme dan terorisme) maka tidak akan bisa berkontribusi. Padahal generasi muda kan masa depan Indonesia. Ini yang kita siapkan," tutur Suhardi.

Beberapa langkah yang telah dilakukan untuk mewujudkan hal itu, sambung dia, adalah dengan ikut aktifnya BNPT menyebar konten positif berupa wawasan kebangsaan di media sosial. Tindakan tegas juga dilakuan jika ada akun yang membahayakan. "Kita bakal minta take down akun itu ke Kominfo," kata Suhardi lagi.

Survei BNPT 2019 dilakukan pada bulan April hingga Juli 2019. Secara metodologi, sampel dalam riset ini diambil dengan menggunakan Teknik Multistage Cluster Random Sampling dengan rumah tangga sebagai unit terkecil. 

Data dikumpulkan melalui wawancara tatap muka kepada 15.360 responden di 32 provinsi, dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Kriteria responden adalah mereka yang berusia diatas 17 tahun. 

Secara nasional, margin of error riset ini sebesar 0.79 persen pada selang kepercayaan 95 persen.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement